
Buat banyak perempuan, sekuel film dari Sex And The City adalah sebuah perayaan yang ditunggu-tunggu. Perayaan kemewahan, fashionista dan cinta (dalam segala bentuknya), tapi itu bukan saya.
Bersiap datang ke bioskop untuk kecewa, saya ikut saja dengan teman perempuan saya menonton film ini. Teman saya terlihat menikmati pemandangan di layar, sedangkan saya berusaha keras menahan diri melihat penuturan yang terbata-bata, bahkan terlalu panjang untuk durasi hampir dua jam.
Sex And The City 2 adalah sekuel yang tidak diperlukan. Pada awalnya, film pertamanya pun juga bukan sesuatu yang diperlukan. Seharusnya serial ini selesai ditutup di layar televisi saja.
Empat wanita dengan problem masing-masing yang juga sebenarnya bukan problem yang penting-penting amat untuk dibahas apalagi sampai diangkat ke layar lebar, tapi menjadi obrolan yang menyenangkan pada saat teman-teman perempuan berkumpul. Mendengarkan argumen mereka seperti mengikuti kelas sekolah yang gurunya sedang diganti oleh seorang selebriti.
Film ini terasa seperti dipaksakan untuk ada, karena bahkan tanpa penonton pun, film ini sudah menghasilkan keuntungan. Lihat saja rentetan produk tidak ada henti yang muncul silih berganti. Mulai dari Mercedes, Maybach, Hewlett-Packard dan tentu merek fashion termasuk Christian, Dior, Luis Vuitton dan Birkin. Sex And The City adalah iklan berdurasi panjang dan kita membayarnya untuk menonton iklan.
Buat teman perempuan saya, merek-merek itu memang seharusnya ada di film ini. Dan merek-merek ini yang dicari agar mimpi tervisualisasi. Bagi saya, ini adalah iklan.
Not-so-pink Chick
No comments:
Post a Comment