Wednesday, February 17, 2010

Review Film: Rumah Dara


Teman menonton kami yang lemah jantung tidak bertahan lama di dalam bioskop gelap yang mencekam. Tepat setelah korban pertama dicacah-cacah oleh salah satu anggota keluarga haus darah, teman kami segara menuju pintu keluar dan tidak kembali lagi.

Layar besar diwarnai oleh darah yang terus menerus mengalir sampai puncaknya. Ini memang yang kami harapkan, dikepung oleh kengerian yang tiada hentinya saat aksi dimulai sampai credit title muncul.

Karakter Dara, yang menjadi kepala keluarga dari tiga anaknya yang sama haus darah, mengalami perombakan dibandingkan dengan penampilan pertamanya di salah satu film pendek di Faces Of Fear. Pakaian yang dikenakan Dara adalah jaket merah nenek-nenek yang menutupi terusan panjang putih. Sangat jaman dahulu sekali dibandingkan dengan penampilan perdana Dara yang berpakaian modern. Gaya berbicaranya juga berbeda. Jika sebelumnya Shareefa Danish tidak perlu bersusah payah mengganti nada suaranya, kini suara yang keluar dari mulut Dara terdengar rendah, berat, tegas dan tua. Semua ini memang ada alasannya untuk mendukung cerita yang tidak perlu rumit.

Dari awal penonton yang masuk sudah tahu bagaimana jalan ceritanya. Sekelompok orang terjebak dalam satu rumah yang penghuninya adalah keluarga brutal pembantai nyawa dan haus darah. Yang ditunggu adalah bagaimana satu persatu dari mereka menemui ajal dan siapa yang akan selamat dari maut. Di era film horor modern, bisa saja tokoh yang tidak kita perkirakan sebelumnya bisa lolos selamat atau bahkan tidak ada satu pun yang bernafas di akhir film. Yang membuat film ini semakin sakit, salah satu karakter yang terjebak di rumah kuno milik Dara adalah wanita yang sedang hamil tua.

Satu per satu alat pencabut nyawa dikeluarkan. Dari pisau tajam sederhana, clurit, sampai gergaji mesin. Ini menambah meriahnya pesta darah yang dihidangkan di depan mata secara gamblang. Model yang mirip dikemukakan oleh Hostel, tapi tidak seberani Hostel yang membuat perut mual.

Jalinan adegan dari satu adegan ke adegan berikutnya juga terasa masuk akal. Mereka yang sempat kabur dari rumah jagal itu, kemudian terjebak kembali dengan membawa sekelompok orang yang lain. Tambahan kelompok yang muncul belakangan menjadi klimaks dahsyat yang tidak pernah ada sebelumnya di kancah perfilman Indonesia.

Kehadiran Aming di sini menurut kami juga punya arti. Kemunculannya lebih seperti tribut bagi film horor Indonesia yang seringkali memunculkan sedikit banyolan di tengah kengerian.

Motovasi di belakang pembantaian juga dipaparkan secara pintar. Adegan pendek, kalimat pendek dan ornamen yang berada di rumah berdarah itu dapat menyampaikan, tanpa harus secara terang-terangan memberi penjelasan. Ini membuat film ini mencekam sekaligus pintar.

Seperti film horor lainnya, dan memang suatu keharusan, ujung film memberikan kesempatan untuk membuat sekuel berikutnya. Dalam film ini belum diceritakan siapa bapak dari anak-anak Dara yang dilatih untuk membunuh dari sejak kecil. Bisa saja di sekuelnya, Dara dan bapak dari anak-anak itu akan menjadi pasangan pembunuh. Tapi ini hanya imajinasi kami.

Setelah lusinan kuntilanak dan pocong, kini film Indonesia punya sosok ikonik yang bisa menjadi legenda. Rumah Dara bisa saja bukan film terlaris, tapi ini bisa menjadi film cult yang sebelumnya tidak pernah lahir dari insan film lokal. Budget yang tidak sebesar Hollywood sehingga membuat efek visualnya tidak wah dan sound editing tidak bergemerincing, justru membuat fim ini semakin layak menyandang status cult.

Semua yang ada di Rumah Dara punya momen untuk terus diingat. Karakter yang unik, cara kematian menjemput dan dialognya akan selalu bisa jadi bahan pembicaraan. Satu kalimat pendek dari dari Dara menjadi kutipan klasik tanpa perlu menunggu lebih lama lagi. "Enak Kan?!" Enak sekali menonton film horor yang mencekam.

Crew L@L

No comments:

Post a Comment

 

Copyight © 2009 Live@Loud. Created and designed by