Wednesday, March 10, 2010

Review Buku: The Lost Symbol


Seperti dua buku sebelumnya yang menempatkan Robert Langdon sebagai tokoh utama, perasaan ini terbius menjadi percaya saja dengan makna dari simbol-simbol yang berada di sekeliling kita sehari-hari. Kali ini Dan Brown yang makin piawai meramu thriller ke dalam lembaran bukunya membawa ke ranah yang lain, di luar agama, walaupun masih menyerempet sedikit banyak.

Robert Langdon kini harus terbang ke pusat pemerintahan Amerika Serikat, untuk memecahkan makna dari simbol yang tersembunyi di piramida Mason. Berkutat dengan sempitnya waktu, Langdon harus berhasil menemukan lokasi kata yang hilang, seperti yang ditunjukkan oleh piramida Mason, untuk menyelamatkan teman baiknya yang disandera oleh seorang maniak, digambarkan dengan bagus oleh Dan Brown.

Buku ini memiliki segala yang diperlukan untuk membuat film seru selama dua jam penuh. Sebut saja lika-liku pemecahan simbol, simbahan darah, tokoh villain sakit, tokoh utama yang selalu lolos dari maut dan twist di ujung cerita. Masih kurang, buku ini memasukkan beberapa merek untuk kemudian bisa dikutip menjadi sponsor saat fim dibuat, atau jangan-jangan mereka sudah membayar sejak buku ini ditulis.

Dan Brown masih mengambil elemen-elemen di buku sebelumnya dalam usaha Langdon memecahkan teka-teki. Untuk memecahkan teka-teki maka Langdon harus mengkorelasikannya dengan artefak atau karya seni lainnya. Ini membuat pemecahan teka-teki tidak bisa hanya mengandalkan satu artefak saja. Jalinan teka-teki yang runit membuat kita percaya dengan apa yang dituliskan oleh penulisnya.

Apalagi kita begitu sangat ingin membuka lembaran berikutnya untuk mengetahui apa yang terjadi. Kecepatan bertutur tanpa harus bertele-tele serta godaan untuk cepat-cepat mengetahui apa yang kemudian terjadi, membuat pembacanya melupakan lubang-lubang dalam plot.

Baru terpikir kemudian setelah buku selesai dibaca. Kalau kata yang hilang sebenarnya berada di sekitar kita tetapi sudah tidak lagi disadari, mengapa organisasi Mason harus bersusah-susah membuat peta yang dienkripsikan? Kalau memang berada di sekitar kita, mengapa harus susah payah dijaga?

Ini membawa pikiran ke film-film Indonesia yang sedang seru-serunya diproduksi. Begitu banyak orang yang menghujatnya karena plot buruk yang berlubang-lubang seperti jalanan Jakarta. Film-film Hollywood yang sering dijadikan patokan kebagusan juga penuh lubang, hanya saja mereka pintar meramunya. Beri ini, beri itu, maka perhatian penonton akan teralih melupakan cela. Buku yang dibuat pun sama saja. Tapi cukup terhibur kan saat membacanya?

Not-so-pink Chick

No comments:

Post a Comment

 

Copyight © 2009 Live@Loud. Created and designed by