Monday, March 1, 2010

Review Film: Up In The Air


Sudah terlalu lama kami terperosok ke dalam liang gelap tak berujung yang berisikan skenario film ya gitu deh dan pengadeganan yang dilebih-lebihkan sehingga terkesan wah. Sampai kami terantuk oleh Up In The Air yang memberi kami kesadaran.

Film dengan gambar yang biasa saja tanpa berusaha melebih-lebihkan ini membenturkan kepala kami ke kenyataan, menjadi dewasa sucks. Terlalu banyak yang dipikirkan sehingga kenyataan manis di ujung hidungnya tidak bisa tercium dan terlalu banyak beban keuangan yang harus ditangung hampir seumur hidup untuk kenyamanan tidur di bawah atap.

Ryan Bingham adalah konsultan pemecat karyawan yang mendapatkan keuntungan dari kondisi kemerosotan ekonomi. Tiap harinya dia terbang dari satu lokasi ke lokasi lain untuk memberikan kabar buruk bagi karyawan. Dia terlalu banyak berpikir, terlalu banyak berencana sekaligus takut menghadapi masa depannya yang sebenarnya cukup jelas. Dengan mempertahankan gaya hidup berpindah-pindah lokasi, hari tuanya akan kesepian. Teman wanita yang ditemuinya saat bersilangan jadwal juga diperlakukan sebagai teman biasa yang tidak ada ikatan.

Di sisi lain tempat duduk saat Ryan mengerjakan tugasnya adalah mereka yang kebingungan bagaimana akan meneruskan hidupnya setelah tidak lagi punya pekerjaan. Tunggakan yang menumpuk akan menghantam mereka menghancurkan hidup.

Dua hal ini yang mencuat di Up In The Air, selain George Clooney yang merajalela memenuhi layar. Secara amat perlahan, penonton dibuat kecut karena film ini menggambarkan ketakutan mereka sendiri secara gamblang. Tanpa harus dibuat menjadi puitis. Beginilah kehidupan. Pilih dengan benar. Wow menjadi dewasa terasa sangat berat.

Walaupun tawa kecil seringkali muncul, tapi tawa yang muncul adalah menertawakan diri kita sendiri. Terasa getir.

Penyajian gambar yang biasa saja membuat penonton semakin ketakutan. Pesan yang disampaikan untuk memilih cinta dan pekerjaan adalah kenyamanan semu terasa mengedor jiwa. Ini hidup mereka sendiri yang terpampang di depan layar dan sekelilingnya gelap.

Satu setengah jam menuju puncak terasa cukup lama. Pada saat penonton ketakutan karena melihat tidak ada solusi, secercah harapan muncul di ujung sana. Hebatnya film ini tidak memberikan apa yang penonton mau. Kalau saja penonton mendapatkan keinginan mereka, niscaya film ini akan menjadi salah satu dari deretan film biasa yang lain.

Up In The Air menjadi tidak biasa karena peringatannya sangat keras membuat kita untuk terbangun dari tidur panjang. Film yang pasti akan kami tinggal dalam 15 menit pertama kalau ditonton lewat DVD ini sayang untuk tidak diteruskan sampai akhir. Karena di ujung film, justru kita mendapatkan banyak bahan untuk dibicarakan setelahnya. Termasuk betapa senangnya kami punya Live@Loud yang tidak bisa memecat kami sendiri.

Not-so-pink Chick

No comments:

Post a Comment

 

Copyight © 2009 Live@Loud. Created and designed by