Bagi label rekaman di Indonesia, RBT bak kejatuhan durian di tengah ladang kering kerontang dijemur panas matahari. RBt seperti kuda hitam yang tiba-tiba datang dan memberikan keuntungan.
Beberapa eksekutif dari perusahaan rekaman pernah berucap, tanpa RBT entah bagaimana nasih industri musik rekaman di Indonesia. Bisa-bisa label sudah gulung tikar dan artis berjalan sendiri-sendiri.
Tapi adakah antisipasi jika kemudian di dekat atau kemudian hari tren RBT berakhir? Bagaimana kalau tiba-tiba konsumen berhenti membeli RBT karena alokasi tujuh ribu rupiahnya berpindah untuk beli kacang goreng atau jagung bakar?
Sayangnya sampai saat ini belum terlihat apa pengganti dari RBT. Mumpung masa kegelapan belum datang, ada baiknya para pelaku bisnis rekaman, artis, pelaku ritel, penggemar dan pihak lain yang mungkin bisa dilibatkan, untuk berkumpul dan duduk bersama untuk memformulasikan apa produk dahsyat berikutnya. Berpikir dengan lebih banyak kepala lebih baik daripada gak ada yang berpikir kan?
Bukan apa-apa, kami hanya khawatir nantinya tidak ada lagu-lagu yang bisa dinikmati karena para artis sudah banting setir tidak mau bikin lagu lagi disebabkan tidak lagi menghasilkan uang.
Not-so-pink Chick
Thursday, August 13, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment