Di mana ada gula di situ ada semut. Tikus mengikuti kemana kejunya berpindah. Industri musik mengikuti di mana uang berada.
Meluncurkan album baru bagi industri musik kini menjadi pertaruhan yang semakin tinggi saja resikonya. Diperlukan biaya untuk rekaman, kemudian promosi untuk mengangkat lagunya ke chart. Apalagi bajakan menggila menggerus margin industri ini. Agar resiko makin kecil dan margin terjaga, maka industri melihat mini album dan berujung ke RBT.
Mini album berarti tidak harus menyediakan lagu bagus sebanyak album penuh. Cukup dua atau tiga lagu dan sisa tiga lagu bisa berupa remix atau stok lagu lama. Buat dua atau tiga lagu itu lebih banyak didengar, dan kemudian tunggu pemasukan dari RBT. Penjualan mini albumnya sih gak usah dipikirin lagi. Ini hanya umpan untuk mengejar RBT.
Apakah ini cara yang kreatif? Bukan. Ini adalah langkah putus asa. Baik industri dan artis seperti tidak punya jalan lagi untuk mengejar pemasukan. Mereka seperti sudah tidak punya rasa percaya diri bahwa kalau memang albumnya bagus, maka pasti akan dibeli. Walaupun jumah yang dibeli tetap lebih sedikit, paling tidak seharusnya album mengalami penjualan yang lebih baik.
Kalau yang dipikirkan hanya menjual dan menjual saja, maka tujuan akhir untuk menjual lebih banyak CD tidak akan tercapai di jaman seperti sekarang ini. Harus digunakan jalan lain yang kadang melingkar jauh terlebih dahulu baru sampai ke sasaran. Apakah maksudnya memberi himbauan kepada pasar untuk tidak membeli produk bajakan? Iya, tapi tidak harus mengatakannya secara langsung seperti itu saja.
Pasar ingin lebih dihargai, apalagi mereka sekarang punya kontrol penuh akan cara mendapatkan album. Mereka punya banyak pilihan yang secepat kilat dapat dieksekusi. Intinya adalah kenali lebih baik pasarnya. Pasar yang dulunya terus dicekoki untuk dipaksa membeli. Keadaan sudah berubah. Perlu kerja lebih keras untuk mengejar ketinggalan.
Not-so-pink Chick
Wednesday, August 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment