Showing posts with label Gig Report. Show all posts
Showing posts with label Gig Report. Show all posts

Tuesday, April 13, 2010

Gig Report: Misfits Live di Jakarta

Setelah melewati antrian panjang sementara dua lagu sudah dimainkan semenjak kami di luar, kami akhirnya masuk ke dalam Dome. Langsung saja crew L@L tercerai berai. Old Skuller langsung merangsek ke depan, dan Hip Master memutari arena karena menemukan konser punk kali ini didatangi cukup banyak wanita yang biasanya tidak pernah muncul di konser lainnya. Sementara saya terjebak dengan memegang kamera Flip Video untuk mendokumentasikan beberapa lagu.

Kekhawatiran itu terjadi. Bukan rusuhnya konser punk, tapi sound yang bising. Pengalaman menonton band di Dome sebelumnya membuat kuping ini cukup sakit. Suara yang keluar didefinisikan sebagai bising, karena suara yang memantul.

Jerry Only yang seakan tidak peduli dengan kacaunya sound yang didengar penonton, terus ngebut menggeber lagu-lagunya. Seperti janjinya sebelumnya, lagu-lagu Misfits dari era klasik sampai yang lebih modern dibawakannya. Penonton yang tahu persis lagunya ikut menggoyangkan Dome, baik itu berasal dari album lama maupun terkini.

Sambil menampar bass yang berkepala tengkorak, Jerry terus menyanyi seperti sedang dikejar ratusan banteng marah di belakangnya. Dia tidak pernah melihat ke belakang, dan juga jarang menengok ke teman main di sampingnya. Komunikasi dengan penonton juga teramat minim. Paling dia hanya menyebutkan judul lagu dan kemudian lanjut bermain dan bernyanyi.

Dez Cadena yang memegang gitar baru mengambil posisi vokal kalau nomor dari Black Flag dimainkan. Walaupun juga tidak banyak bergerak seperti Jerry Only, tapi Dez lebih bergerak daripada Jerry. Di penghujung konser dia mendekat ke drum, dan itu adalah jarak paling jauh yang pernah dia lakukan di atas panggung.

Nomor-nomor yang ditunggu, seperti Death Comes Ripping, Die Die Die My Darling dan Green Hell disimpan di penutup acara. Selama hampir satu setengah jam, trio ini ngebut memuntahkan puluhan lagu yang saya juga sudah tidak peduli berapa banyak lagu mereka mainkan.

Bagi penggemar punk, malam itu seperti melihat dewa turun ke bumi. Apa pun yang dilakukan oleh tiga orang itu di atas panggung adalah pentasbihan bahwa mereka telah bertemu dengan legenda.

Bagi yang tidak terlalu peduli dengan punk, malam itu adalah kebisingan dan kebosanan karena trio ini tidak banyak melakukan aksinya di atas panggung. Ngebut, ngebut dan ngebut. Kalau ngebut, maka yang benar-benar suka yang bisa menikmatinya.







Not-so-pink Chick

Monday, April 12, 2010

Gig Report: Sebelum Masuk ke Dome, Misfits Live

Sempat terbersit keraguan untuk datang ke konsernya Misfits di Jakarta, karena konser ini akan didatangi oleh penggila punk. Di Bandung, terdapat satu konser punk yang jebol dan akhirnya harus berakhir lebih cepat dari jadwal. Ditakutkan hal ini terjadi lagi di Jakarta, apalagi harga tiket yang dipatok boleh dibilang terlalu mahal untuk anak-anak punk. Tapi crew L@L sudah bertekad untuk bersenang-senang dan berangkatlah kami ke Ancol.

Setelah perjalanan yang panjang, sampailah kami di lokasi pada pukul delapan malam kurang sepuluh menit. Di depan pos pemeriksaan tiket, terdapat sekumpulan besar orang yang menunggu untuk masuk ke dalam arena. Dilihat dari lagak-lagaknya ini sih seperti konser-konser yang biasanya. Dipastikan konser akan berlangsung aman.

Dari banyaknya orang yang bergerombol di luar, jumlah penonton yang datang jauh dari perkiraan kami sebelumnya. Kami pikir penonton akan banyak, tapi ternyata lebih banyak lagi. Satu persatu kami mulai memasuki arena setelah melewati penjagaan pertama.



Tepat di depan pintu masuk, berdiri satu panggung kecil, tempat band lokal memainkan beberapa lagu berirama punk. Beberapa penonton sudah panas sebelum menyimak Misfits. Hingar-bingar di atas panggung kecil ini membuat konser Misfits seperti pesta kecil merayakan punk.



Pada saat kami sampai, ternyata pintu masuk ke Dome, tempat Misfits melangsungkan ritualnya, belum bisa dimasuki oleh para pemegang tiket. Alhasil kami duduk-duduk dulu sambil memakan camilan yang dibandrol dengan harga yang teramat jahiliyah. Rasanya malas mengantri panjang tanpa kejelasan kapan bisa masuk.

Sampai akhirnya pintu dibuka, dan penonton mulai beringsut masut. Antrian yang masih terlalu panjang membuat kami masih malas untuk mengikutinya. Kami memilih untuk menghabiskan camilan dulu. Baru setelah camilan habis dan waktu menunjukkan jam sembilan kurang seperempat kami mulai merapatkan barisan.

Tepat jam sembilan malam, dan kami masih dalam antrian, dari dalam Dome terdengar intro yang sampai terdengar di luar. Mereka sudah mulai dan kami masih di luar. Panik melanda!



Bersambung...

Old Skuller

Monday, November 9, 2009

Gig Report: Arch Enemy

Kalau butuh satu kata buat menjelaskan konsernya Arch Enemy minggu lalu di Jakarta: Anjriiiiiiit! Buat mereka yang tidak datang untuk memenuhi tenis indoor stdion malam itu: Menyesallah!

Tanpa terlalu memperhatikan Melody Maker sebagai band pertama yang naik panggung dan Psycroptic yang pol-polan tapi maaf kami tidak tahu lagu-lagunya - jadi kami lebih sibuk ngobrol - kita langsung saja melaporkan penampil utama yang ditunggu-tunggu, Arch Enemy.

Di depan penonton yang jumlahnya tidak sebanyak konser Lamb Of God, band melodic death metal dari Swedia tetap memberikan sajian yang memuaskan. Dari nomor pembuka, Blood In Your Hands, kami sudah merangsek maju untuk lebih dekat dengan empat laki-laki dan satu perempuan yang menguasai panggung.

Hilang sudah kekhawatiran kami Arch Enemy bakal setengah hati naik panggung di Jakarta, karena malam sebelumnya sampai sore menjelang waktu konser, kami mendengar berita bahwa mood mereka sedang tidak baik. Daniel Enlarson dengan disiplin menjalankan tugasnya di belakang set drum pearl. Walaupun fisiknya tidak terlihat lengkap dan tidak pernah keluar dari sarangnya, tetapi suara yang keluar dari gebukannya terus membekas di penonton yang hadir malam itu. Sharlee D'Angelo bukanlah model pemain bas yang tenang berada di kegelapan panggung. Sharlee maju ke depan, dan menggila bersama personil lainnya yang berada di garis depan.


Ammot bersaudara, Michael dan Christoper adalah pusat perhatian di sisi kiri kanan panggung. Kocokan gitarnya tidak berhenti mebuat penonton terkagum dan fingering di atas papan fret adalah yang diperlukan oleh penonton untuk menyaksikan bukti dari banyaknya pujian yang telah disematkan pada duo gitaris bersaudara ini. Sesekali Michael menghampiri Christoper, atau mereka berdua berada di sisi tengah panggung saat solo mereka bersautan atau sedang membuat harmoni melodi.


Tentu saja perhatian malam itu lebih banyak dialamatkan pada vokalisnya, Anggela Gossow, sebagai salah satu fonted female yang paling populer saat ini. Angela dengan gagah meraung membuktikan bahwa vokalnya bukanlah olahan studio, tapi juga sanggup terdengar garang di atas panggung. Bahasa tubuh perempuan bertubuh langsing ini juga suatu tontonan yang menyedapkan mata. Setiap rif dan solo diikuti dengan gaya yang menerjemahkan lagunya.

Nomor-nomor yang dibawan oleh Arch enemy bukanlah jenis metal yang menghasilkan moshpit dan circle pit setiap saat. Trek-trek yang didominasi oleh kecepatan seperti Ravenous, Diva Satanica dan Nemesis menghasilkan pit yang paling besar dan paling buas.

Tapi tidak berarti nomor-nomor yang memiliki kecepatan medium tidak ditanggapi panas oleh penonton. Dengan nama besar dan penggemar fanatik, setiap melodi dari setiap trek dikumandangkan oleh penonton dari bawah panggung mengiringi sayatan Ammot bersaudara. Ini membuat nomor seperti I will Live dan We Will Rise menjadi nomor yang lebih bertenaga saat dibawakan secara langsung.


Dari awal sampai akhir, konser Arch Enemy adalah konser yang memuaskan secara visual dan audio. Aksi panggung mereka habis-habisan dan sound sistemnya tidak mengecewakan. Ini termasuk dalam salah satu konser terbaik tahun ini.

Buat promotornya, Solucite, kami selalu mendukung. Bawa lebih banyak metal ke negeri ini. Atau sekalian bikin festival.

Not-so-pink Chick

Monday, November 2, 2009

Gig Report: U2 Live lewat YouTube



Walau bukan yang pertama kali, konser U2 di Rose Bowl, California, yang dipancarkan ke seluruh dunia melalui YouTube cukup menarik perhatian. Kami yang harus beraktivitas di siang hari (karena perbedaan waktu, live-nya di Indonesia bisa dinikmati di siang hari), jadi gelisah di hari itu. Apakah kami perlu untuk mencuri-curi waktu untuk mendapatkan sensasi live-nya, atau cukup melihatnya di tayangan ulang. Karena kami cukup sibuk di siang hari, maka kami cukup puas menontonnya lewat layar komputer di malam hari, saat Internet memberikan kecepatan yang lebih saat yang lain tertidur.

Dalam konsernya Bono tidak hanya menyapa penonton yang hadir di stadion raksasa itu. Bono juga menyapa warga dunia, seakan yakin sekali seluruh dunia sedang memperhatikan band ini.

Selain berhasil menyedot banyak penonton dari seluruh dunia, apa yang menarik dari konser U2 kali ini? Penampilan mereka seperti biasa, flamboyan. Menarik dan enak untuk ditonton. Tapi semuanya terlihat terlalu diatur. Ini adalah sebuah konser berkonsep yang harus diikuti tanpa boleh meleset tiap babaknya. Sayangnya kami tidak menemukan sesuatu yang benar-benar baru, yang tidak kami temukan sebelumnya di DVD konser mereka yang lalu. Segala yang serba mega pernah kami lihat sebelumnya lewat layar kaca.

Hal lain yang menarik adalah panggung raksasa yang selalu dihadirkan oleh U2 di setiap konsernya. Terus terang, untuk sebuah panggung yang berisikan emat orang, panggung mereka terlalu besar.

Panggung mereka kali ini berbentuk mirip dengan pesawat angkasa, dengan lingkaran layar raksasa di puncaknya. Kami harus berdecak kagum melihat imajinasi dari pembuat panggung.

Daripada kami bercerita panjang lebar, lebih enak onser mereka langsung dinikmati saja. Rekaman lengkap konsernya masih tersedia di YouTube.

Sementara kami memelototi konser ini lewat layar komputer, kami bertanya-tanya bodoh tanpa tujuan. Bukannya U2 selalu mendukung gerakan hijau dan menentang pemanasan global? Dengan panggung seperti ini, pasti memerlukan daya listrik besar yang mungkin bisa untuk menerangkan 20 desa di Indonesia.

Kami memerlukan penjelasan lebih lanjut dari Bono tentang pendapat kami ini. Jadi untuk sementara waktu, jangan terlalu percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bono.

Not-so-pink Chick

Thursday, October 15, 2009

Gig Report: LA Lights Indiefest

Mata ini shock karena melihat tata panggung ajang mahal buatan Djarum untuk lebih mempromosikan brand LA Light. Bukan kagum karena tatanan dua panggung bersebelahan, kala satu panggung dipakai maka satu panggung lainnya ditutup untuk setting. Penggunaan dua panggung ini menghilangkan waktu jeda sehingga pergantian band terus dapat berjalan. Tapi kembali lagi, shock bukan karena adanya dua panggung bersebelahan. Shock karena tata panggung yang aneh.

Kelihatannya, pembuat desain panggung ingin terlihat desain panggung yang keren, tapi melupakan kelayakan posisi pemegang instrumen dan kedekatan penonton dengan yang ditonton. Dari desainnya sendiri membuat artis dan band tidak nyaman. Panggung dibuat berundak dan berlubang di tengah dengan jembatan yang menuju panggung terdepan. dengan desain seperti kelihatannya hasil dari perpaduan pas antara event organizer yang lebih mempedulikan keinginan sponsor agar panggung kelihatan cantik dan pihak sponsor sendiri yang ingin panggung kelihatan indah di tayangan televisi. Padahal panggung live bisa saja biasa saja tanpa harus ada jembatan untuk ke arah lebih depan.

Dengan bentuk panggung seperti itu, maka para musisi pemegang instrumen akan berada jauh di belakang. Apalagi kalau instrumennya berkabel. Sedangkan vokalis yang idak menenteng alat lebih bebas ke depan, sendirian. Sungguh penataan seperti ini terlihat aneh dipandang. Untungnya The Bannery dan The Ataris yang vokalisnya sekaligus pemegang gitar punya inisiatif untuk memajukan mike-nya sampai ke depan.

The Bannery adalah band paling hot dalam daftar bintang lokal di festival ini. Baru berbekal satu album perdana mereka berhasil menggaet penggemar dengan cara-cara baru, termasuk mengajak penggemar membuat video bergaya dansa ala mereka. Di luar dugaan sound The Bannery di atas panggung jauh lebih baik daripada sound mereka di rekaman. Dalam CD, sound mereka terasa datar nyaris terdengar seperti band melayu yang mencoba untuk terdengar lebih modern walaupun akhirnya gagal. Di panggung, sound The Bannery lebih keras dan sanggup menggoyang penontonnya.



Rocket Rockers dan Pee Wee Gaskins adalah atraksi kebisingan, dalam arti yang sesungguhnya. Keduanya tidak sanggup memberikan sound yang tertata dan terdengar nyaman. Tampilnya kedua band ini seperti balapan menjadi siapa yang paling bising. Alhasil kuping kami kelelahan mendengar mereka yang coba-coba ngerock.

Raygun adalah band luar yang pertama kali tampil. Dengan satu lagu hit Just Because mereka memang baru di kelas pembuka. Sound yang terdengar buruk menjadi kendala mereka yang pertama. Tata panggung yang membuat pemegang instrumen mundur terlalu ke belakang ditinggalkan vokalisnya yang bergaya bak Mick Jagger muda, adalah kendala kedua. Secara penampilan, mereka tidaklah terlalu buruk. Bahkan gitarisnya akhirnya menjelajah ke depan panggung walaupun harus tergopoh-gopoh kembali ke belakang untuk mengganti efek gitarnya.

Lenka, walaupun bukan yang paling kami tunggu, tapi justru menjadi penampil terbaik malam itu. Menarik pemain instrumen ke belakang tidak menjadi masalah karena Lenka juga sibuk berinteraksi dengan pemain bandnya. Sound yang keluar dari atas panggung terdengar paling bening dan paling nyaman. Dan ternyata penantian penggemarnya pun tidaklah sia-sia. Begitu banyak penggemarnya yang bernyanyi bersama, termasuk lagu-lagu yang bukan hit. Lenka dengan manis maju mundur di panggung, membawakan indie pop dengan sempurna.

The Ataris adalah band yang paling banyak ditunggu, sementara penggemar Lenka langsung keluar tanpa mempedulikan The Ataris. Sayangnya penampilan The Ataris adalah anti klimaks. Hanya bertiga, mereka mensetiing sendiri soundnya tanpa teknisi, dan menghasilkan sound yang berantakan. Suara gitar nyaris tidak terdengar sehingga emosi yang muncul tidak maksimal. Ditambah dengan penataan lampu yang terus gelap. Entah itu permintaan The Ataris atau ada sabotase dari penyelenggara karena The Ataris adalah satu-satunya band yang tidak menyebutkan LA Light di atas panggung. Gangguan yang muncul di atas panggung membuat kami sulit untuk puas dengan penampilan The Ataris. Trek-trek anadalan seperti So Long Astoria, Unopened Letter To The World dan San Dimas terasa lewat begitu saja. Band punk rock modern ini tidak bisa memuaskan kami.

Hip Master

Monday, August 10, 2009

Gig Report - Java Rockin' Land 8 Agustus - Mr. Big

Keluar dari lokasi Pure Saturday kami mendapati main stage sudah terisi penuh penonton yang menunggu Mr. Big. Sepertinya mereka tidak peduli dengan penampil-penampil bagus lainnya. Mereka datang ke Java Rockin' Land malam itu hanya untuk menonton Mr. Big.

Melihat keadaan ini, maka kami melakukan jurus terakhir. Memaksa merangsek ke depan. Usaha kami ini mengundang hujatan dari penonton yang lain. Hmmm...tidak seperti konser-konser biasanya. Prinsip kami adalah kalau bisa maju ke depan, berarti masih ada tempat di depan.

Barisan depan memang sangat rapat, kami sangat kesulitan untuk mendapatkan ruang gerak. Masing-masing penonton mempertahankan posisi. Padahal mereka yang pendek-pendek justru malah tidak bisa melihat ke panggung.

Setelah bersama-sama menyanyikan Indonesia Raya, Mr. Big langsung memulai pertunjukannya. Daddy, Brother, Lover, Little Boy langsung membuat tanah bergoyang untuk sementara waktu. Tentu saja dalam nomor ini, Billy Sheehan dan Paul Gilbert mempertontonkan atraksi bermain gitar dan bass menggunakan bor listrik. Kemudian diteruskan nomor hit lainnya, Take Cover dan Green-Tinted Sixties Mind. Sampai di sini terlihat mana yang benar-benar penggemar Mr. Big dan mana yang menunggu power balladnya saja.

Penonton tetap tak bergeming, kami akhirnya mengalah daripada harus keluar dari arena ditandu karena pingsan. Setelah menemukan tempat yang cukup memiliki ruang, kami kembali gila-gilaan. Walaupun sound yang keluar tidak gagah, tapi kami terus meloncat. Tidak peduli dengan penonton sekitar yang masih menunggu power ballad.

Akhirnya para penonton yang memenuhi arena mendapatkan kepuasannya. Mr. Big memberikan tiga balada: Wild World dari Cat Stevens, Just Take My Heart, dan To Be With You. Mereka terlalu baik. Bagi kami, justru kami berharap mereka memlintir tiga lagu tersebut agar tidak sama dengan yang terdengar dari album. Kami justru ingin mendengar betapa mereka capek menyanyikan balada, dan mereka bisa berbuat semaunya dengan balada yang mereka punya. Tapi sayangnya itu tidak terjadi malam itu.

Pada nomor-nomor kuat seperti Price You Gotta Pay, Alive and Kickin, dan nomor yang pertama kali melambungkan mereka ke dalam tataran bukan band glam biasa, yaitu Addicted To That Rush, kami menjadi paling gila di antara sekitarnya.

Dalam banyak kesempatan, Paul Gilbert dan Billy Sheehan masih mempertontonkan kehebatan mereka. Mereka berdua mash sanggup meniti fret dengan segala cara. Sedangkan Pat Torpey di belakang drum rasanya sudah terlalu tua. Tetapi menurut Old Skuller, penampilan mereka pertama kali ke Jakarta sekitar 10 tahun lebih yang lalu adalah penampilan terbaiknya. Sayang sekali bagi mereka di lautan penonton malam itu yang tidak berkesempatan melihat Mr big yang sebelumnya pernah datang.

Mendengar Colorado Bulldog dimainkan setelah To Be With You, kami yakin ini adalah lagu terakhir. Karena itu kami semakin menuntaskan kegilaan di lagu terakhir ini.

Karena format festival, maka sepertinya Mr. Big memangkas durasi panggungnya. Padahal ini adalah kesempatan untuk melihat Mr. Big bereuni dalam formasi terbaiknya. Di malam itu juga tidak muncul atraksi anggota Mr. Big saling bertukar posisi. Kabarnya trik ini masih dipakai di konser reuni di Jepang.

Secara keseluruhan kami merasa puas mlam itu. Kami mendapat kesempatan melihat penampil terbaik malam itu. Baik yang penontonnya minimum sampai yang memadati arena.

Tanda festival ini bakal ada lagi tahun depan. Dan sebaiknya mengundang line-up yang lebih baik lagi. Dear panitia, pernahkah kalian mendengar ada negara kecil di Eropa sana, Swedia namanya, yang punya band-band bagus?


Old Skuller

Gig Report: Java Rockin' Land 8 Agustus - Pure Saturday

Kami harus lebih berhati-hati dalam menuliskan report menonton Pure Saturday. Mereka adalah band penting di Indonesia. Mereka adalah band penting bagi kami. Mendengarkan album mereka sanggup membawa kami keluar ruangan membawa kami ke alam yang lebih indah daripada bumi ini, karena itu sekumpulan pmuda berusia 30-an itu menjadi penting bagi kami.

Pure Saturday ternyata justru membuatnya menj
adi lebih mudah bagi kami. Dengan sound yang buruk, tidak tampak mereka mengeluh dengan sound yang tidak memuaskan. Bahasa tubuh, ucapan dan lagu mereka membawa kami terbang dari ruangan konser ke dunia mereka, dunia Pure Saturday.

Bahkan mereka dengan rendah hati memangkas durasinya agar tidak bertabrakan dengan Mr. Big. Karena mereka tahu banyak penonton yang sekarang berada di depan panggung Pure Saturday ingin juga menonton Mr. Big. Tapi bagi kami, kalau penampilan mereka terus seperti yang kami lihat, maka kami ketinggalan satu dua lagu dari Mr. Big tidak jadi masalah.

Sungguh mereka bermusik tanpa cela. Ketika Iyo mengajak kami menyanyi bersama, mengajak kami memekik kecil, kami melakukannya dengan sukarela. Tanpa harus disuruh-suruh, badan kami bergoyang mengikuti irama, tangan diangkat ke atas, dan bertepuk tangan tulus.

Tidak usah disebut lagi mereka membawakan lagu apa saja di atas panggung Java Rockin' Land. Pure Saturday adalah salah satu penampil terbaik malam itu. dengan kesederhanaan dan kejujuran, tidak lagi kami peduli mereka disebut band pop, rock, pop rock, brit pop atau apa lah yang lainnya.


Not-so-pink Chick

Gig Report: Java Rockin' Land 8 Agustus - Superglad, Southern Beach Terror dan Everybody Loves Irene

Kami hanya satu hari saja datang ke Java Rockin' Land, yaitu pada tanggal 8 Agustus. Pertama karena ada Mr. Big, kedua karena ada penampil lokal yang punya materi internasional, ketiga hari Sabtu lebih enak untuk pergi. Itupun kami masih datang terlambat. Kami baru sampai ke arena pada jam setengah 7 malam, saat Rif sedang meminta penonton menyanyi Tak Gendong.

Kami belum terlalu berkonsentrasi pada saat itu, jadi kami hanya sibuk minum-minum saja jauh di belakang karena baru saja menempuh jalan kaki yang cukup atau bisa dibilang sangat jauh. Karena macet panjang di dalam Ancol, kami menggunakan ojek dan diselesaikan dengan jalan kaki.

Banyaknya penonton yang membuat Ancol macet total tidak kami perkirakan sebelumnya. Kalau animo seperti ini, maka Java Rockin' Land bisa jadi agenda tahunan. Asiiiik. Tahun depan line-upnya lebih bagus ya....

Penonton yang datang pun cukup bervariasi. Ada yang berdandan siap ke pantai, ada yang bergaya ala metal, dan ada yang berpikir untuk pergi mall setelah nonton. Tampaknya panitia berhasil mengumpulkan elemen-elemen penonton yang biasanya saling terpisah.


Setelah Rif selesai memperdegarkan nada terakhirnya kami beranjak ke tempat Superglad naik panggung. Kami tidak salah pilih. Selain punya trek-trek pop punk menarik, mereka mempunyai performa panggung yang enak ditonton. Tidak banyak band Indonesia yang mampu menguasai panggung, baik dari sisi blocking maupun orasi. Superglad bahkan menyampaikan pesan begitu penatnya mereka dengan lagu kemelayu-melayuan yang kini sedang laku keras. Bridging antara lagu pun digarap dengan layak. Di antara trek-trek yang dibawakan malam itu: Peri Kecil, Tennflick Rocker, Ketika Setan Berteman dan balada manis Satu, berjalan mulus.

Sebagai four-piece band, Superglad memberikan tontonan yang menarik. Buluk yang memegang kendali vokal sekaligus juga lancar bergerak, berucap dan bernyanyi. Sajian yang lengkap.


Setelah Superglad selesai kami mengejar The Southern Beach Terror. Kami hanya sempat mengejar ujungnya saja karena aksi mereka sebenarnya bersamaan dengan Superglad. The Southern Beach Terror hanya berisikan tiga orang: gitar, drum dan keyboard. Tanpa bass mereka mengeluarkan suara bising luar biasa. Di kuping kami mereka terdengar membawakan noise art, dengan bumbu-bumbu surf rock, bukannya kebalikannya. Untuk penampilan seperti ini, mereka hanya berhasil meraup jumlah penonton yang jauh lebih sedikit. Pity them, tidak merasakan sensasi kebisingan ini. Kami perlu menonton lebih banyak band ini di lain waktu.

Rampungnya anak pantai selatan ini membawa kami ke panggung yang lain, tempat Everybody Loves Irene. Seperti kami duga, panggung ini akan sepi penonton. Yang lain lebih suka nonton Secondhand Serenade, atau lebih tepatnya mengambil tempat untuk siap-siap ke Mr. Big.


Di panggung kecil, berdiri (kami sempat hitung) sampai sembilan orang. Di panggung kecil itu juga kami terbawa dengan musik mereka. Terbawa hanyut tanpa peduli performa di main stage. Band trip hop terbaik Indonesia (emangnya ada yang lain lagi) masih setia pada jalurnya walaupun genre ini sudah mulai menghilang dari permukaan dunia. Berbekal dua album penuh mereka menggoyang sedikit penonton yang dekat dengan panggung. Seakan-akan mereka yang berada di atas panggung khusus tampil hanya untuk kami sendiri-sendiri. Sangat personal.


Hitnya (kalau bisa dibilang hit) Memento Mori menggoyang dan membawa kami terbang ke awan. Sampai mereka terpaksa harus menyudahi setnya.

Sejenak kami beristirahat meluruskan kaki, minum-minum dan berusaha mengantri di booth yang menjual makanan. But hell, antriannya panjang banget. Untuk tahun depan, panitia harus menggamit sponsor makanan lebih banyak lagi.

So far so good. Berikutnya kami menuju legenda muda, Pure Saturday.


Not-so-pink Chick
 

Copyight © 2009 Live@Loud. Created and designed by