Showing posts with label Review Album. Show all posts
Showing posts with label Review Album. Show all posts

Friday, July 16, 2010

Review Album: Parachute - Losing Sleep


Entah apa yang terjadi dengan saya di musim liburan ini. Hiburan komersil nan renyah yang biasanya saya tekuk, tiba-tiba menjadi teman baik saya. Selain film-film musim panas yang keterlaluan kacangnya, saya juga menikmati album-album musik yang beberapa nomornya sering diputar di radio yang banyak didengar orang di kala menikmati kemacetan.

Parachute, album Losing Sleep, adalah salah satunya. Di antara 10 lagu, plus satu lagu bonus, di dalamnya, yang paling saya sukai adalah nomor balada The Mess I Made. Trek favorit kedua berikutnya juga masih balada, She Is Love. Di luar balada, yang kalau di jaman glam akan disebut power ballad, saya juga menyukai trek Words Meet Heartbeats yang bisa membuat saya melompat-lompat kecil.

Aroma musik yang ditiupkan band berisikan lima orang ini menjauh dari Coldplay dan mendekati Matchbox 20. Kalau saja vokal Rob Thomas digantikan, Parachute bisa mengisi kekosongan Matchbox 20.

Segala yang ada dalam Parachute terasa empuk dan mudah untuk dipeluk. Volume masing-masing instrumen tidak pernah diangkat keluar untuk meninju muka, bahkan warna vokal mudah untuk dilupakan. Karena dalam porsinya masing-masing, album ini menjadi rendah diri dan tidak sombong yang justru menarik saya lebih dalam.

Not-so-pink Chick

Wednesday, May 26, 2010

Review Album: Andra And The Backbone - Love, Faith & Hope


Ini adalah album kedua setengah dari barisan Andra And The Backbone, karena hanya tersedia lima lagu baru di awal dan sisanya adalah rekayasa akustik dari koleksi lama. Dari dua album sebelumnya, harapan saya untuk mendengar Andra untuk lebih ngerock sudah pupus. Apalagi mengingat di barisan tulang belakang juga terdapat Stevie Item yang metal banget di Deadsquad. Bertemu di tengah-tengah rasanya sudah cukup.

Sekali lagi, sejak dari nada pertama, saya sudah tahu album ini juga tidak akan memenuhi ekspektasi dari sisi kekencangan. Bahkan album ini serasa tidak berbeda dengan album sebelumnya, seakan semua trek di dalamnya dibuat dalam satu periode yang sama.

Namun tidak berarti mendengarkan setengah album ini tidak lagi menyejukkan. Pokoknya selama kita mengesampingkan buruk sangka, eh rasanya pernah dengar lagu ini sebelumnya di mana gitu, maka selanjutnya aman untuk mendengarkan Andra And The Backbone.

Nomor pembukanya adalah nomor kedua paling enak di keseluruhan setengah album ini. Pagi Jangan Cepat Datang memiliki kekuatan yang diidamkan oleh band glam, yaitu bridge yang tidak mudah dilupakan dan kemudian meledak di chorus.

Lagu terbaik dari album ini adalah nomor instrumental Love, Faith And Hope. Denting gitar rif melodi pendek yang kerap diulang menjadi pusat dari perjalanan sampai melewati kejutan kecil, Andra dan Stevie menaikkan tempo dan sedikit garang, yang kemudian kembali melunak membuyarkan mimpi.

Tiga trek lainnya memiliki kekuatan yang sama. Artinya punya potensi untuk dimainkan di tayangan langsung panggung pagi hari.

Sedangkan lima nomor akustiknya? Bukankah sudah saya sebut ini adalah album kedua setengah? Sisanya tidak penting.

Old Skuller

Tuesday, May 25, 2010

Review Album: Slash - S/T


Album ini disebut sebagai solo album pertama Slash. Judulnya pun diambil dari nama mantan gitaris band legendaris, Guns N' Roses, walaupun di sampulnya tertera RN'FR. Kita tahulah singkatan dari apa RN'FR.

Tanpa harus menengok ke belakang arsip Guns N' Roses yang hanya dalam hitungan jari, album yang dibuat oleh Slash setelah era Guns N' Roses jauh dari memuaskan, baik itu di Slash's Snakepit maupun Velvet Revolver. Tapi apa mau dikata, sebagai penggemar Guns N' Roses saya tetap penasaran dengan album terbaru yang menggaet banyak featuring artist di dalamnya ini.

Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah apakah album solo Slash ini akan menjadi Probot yang sama sekali berbeda dengan Foo Fighters apalagi Nirvana, atau mirip dengan Supernatural dari Santana yang mencoba untuk eksis lagi mengikuti kemauan dari pasar yang semakin muda? Artis yang diajak kerjasama oleh Slash berpijak di masa lalu dan masa sekarang. Masa lalu diwakili oleh Ozzy Osbourne dan masa sekarang diwakili oleh salah satunya Fergie dari Black Eyed Peas. Dengan begitu strategi yang dijalankan adalah merangkul pasar sebesar-besarnya. Ini membuat saya khawatir.

Trek pertamanya, Ghost, cukup menenangkan hati. Sayatan gitarnya terdengar lebih Slash dibandingkan usahanya sebelumnya setelah Guns N' Roses, keras dan kasar. Menanjak ke nomor-nomor berikutnya, jawaban atas pertanyaan sebelumnya muncul. Slash berusaha keras menggoreskan tanda tangannya, tapi juga secara luwes mengikuti gaya artis yang diajaknya.

Ozzy terdengar seperti Ozzy di solo albumnya. Doctor Aliby yang menampilkan Lemmy Kilmeister terdengar seperti deru Motorhead dengan siraman alkohol. I Hold On adalah fantasi Kid Rock mengentaskan southern rock dengan gitaris yang piawai. Bahkan lagu terbaik di album ini, yaitu nomor instrumental, Watch This, yang menggandeng Duff McKagan dan Dave Grohl nyaris seperti jelmaan Probot yang lagunya tidak jadi dimasukkan ke album.

Sedangkan Fergie yang dikhawatirkan banyak orang akan menjadi titik terlemah di album ini, bagi saya terdengar seksi, walaupun ini bukan single yang layak untuk dijagokan. Anehnya, single yang layak untuk diputar lebih sering di radio justru saya pikir adalah nomor Nothing To Say yang mengundang M Shadow, vokalis Avanged Sevenfold, sebagai pengisi suara. Nomor ini penuh energi untuk didengarkan sambil berjalan menggunakan iPod, dan terdengar bagai tutorial Slash kepada Avanged Sevenfold tentang bagaimana memainkan musik secara lebih baik.

Secara keseluruhan album ini lebih memuaskan daripada Slash's Snakepit dan Velvet Revolver. Jiwa dari Slash ada di sini walaupun dikaburkan oleh aspek komersial. Pemilihan trek bonus yang memasukkan Paradise City, nomor ikonik dari Guns N' Roses, bahkan terdengar seperti hanya mengejar sensasi saja. Memasukkan Cypress Hill dan Fergie ke dalamnya tidak membuat Paradise City menjadi lebih paten, dan Slash tahu betul itu.

Kebetulan sebelumnya album Guns N' Roses yang terkatung-katung, Chinese Democracy, juga keluar. Saya jadi mengerti mengapa Slash akhirnya harus mengambil jalan yang berbeda dengan Axl. Sebagai penulis lagu, Axl ingin melebarkan sayapnya dengan lebih ambisius, kompleks dan anggun. Sedangkan Slash tetap ingin berakar pada rock n' roll yang sederhana, pejal dan kasar. Sayangnya kapasitas Slash sebagai penulis lagu berada di bawah Axl. Pertanyaan dari mana musikalitas Gun N' Roses di jaman mereka berdua terjawab sudah.

Old Skuller

Wednesday, April 14, 2010

Review Album: Timbaland - Presents Shock Value II


Timbaland adalah mesin pencetak hit. Yang namanya juga lagu hit, maka haruslah dapat diterima oleh banyak kuping orang. Kalau bisa diterima banyak orang, maka lagunya sebaiknya dibuat dengan renyah dan mudah ditelan. Terdengar kacang, tapi pada prakteknya tidak semudah itu.

Shock Value 2 mencoba meneruskan apa yang telah dikerjakan Timbaland di Shock Value sebelumnya. Menggandeng banyak featuring dengan nama-nama besar, turut memperlihatkan pesona dan pengaruh Timbaland di dunia musik.

Diawali dengan Carry Out bersama JT, trek ini menjadi trek terbaik di album ini. Walaupun belum mendekati yang tak tertandingi Cry Me A River, tapi Carry Out masih menunjukkan bahwa Timbaland dan JT adalah duet yang maut.

Selanjutnya trek-trek dihiasi dengan auto tone dan efek suara berlapis-lapis. Terdengar sama seerti Shock Value sebelumnya? Ini adalah sekuel. Tentu saja resepnya tidak boleh berbeda jauh.

Walaupun menawarkan deretan banyak bintang tamu, tapi ini adalah sepenuhnya album Timbaland. Sepenuhnya dia memegang kontrol bagaimana para bintang tamu melantunkan nadanya dan mengikuti beat renyah yang dapat memuaskan selera paling rendah sekali pun.

Tidaklah dosa untuk membuat model musik seperti ini. Tetapi meninggalkan rasa berdosa bagi yang sangat menikmatinya. Apalagi di saat CD berhenti berputar, terasa ada lubang dalam menganga untuk minta diisi.

Hip Master

Tuesday, April 13, 2010

Review Album: Four Year Strong - Enemy Of The World


Seperti halnya rock dan metal yang dikawinsilangkan dengan genre atau sub-genre lainnya sehingga semakin membingungkan untuk dikategorikan, emo juga mengalami hal yang sama. My Chemical Romance mendapatkan pencapaian musikalnya dengan membaurkan rock klasik ke dalamnya. The Fall Of Troy diperdebatkan apakah masuk ke kategori progresif oleh mereka yang terjebak di masa lalu keemasan Yes. Sedangkan Four Year Strong mengambil sedikit dari power metal agar bisa dibedakan dengan serbuan band sejenis.

Sekejap, saya sempat berpikir Four Year Strong adalah band kloning dari Blessed By A Broken Heart yang mengumbar banyak tendangan double bass drum dan mengawinkannya dengan elektronik. Ternyata kadarnya saja yang berbeda. Terdapat double bass drum yang terpencar di sana sini, dan elektronik yang minimal. Kadar persamaannya mungkin hanya di sisi break yang seperti menaiki roller coster.

Kalau saja dihilangkan double bass drum dan elektronik, maka Four Year Strong akan sama dengan Fall Out Boy era From Under the Cork Tree. Oh band ini ternyata berada di bawah label Decaydance milik Pete Wenz.

Sementara Fall Out Boy semakin meninggalkan formula keberhasilannya, Four Year Strong mengambil tempat itu dengan sedikit modifikasi. Trek-trek di awal album seperti It Must Really Suck To Be Four Year Strong Right Now, On A Saturday dan trek lain dengan judul tidak nyambung khas emo adalah ekstasi chorus bermelodi yang para penonton konsernya akan bersemangat menyanyikannya.

Tak heran, Four Year Strong sebelum albumnya dirilis secara resmi oleh Universal Music Indonesia sudah mendapat hati dari banyak pengikutnya yang berusia kinyis-kinyis. Ini bagaikan anthem pemberontakan mereka, seperti hair band di 80-an dan alternatif di era 90-an. Chorusnya dibuat bertenaga sehingga mulut dapat mengeluarkan suara sekerasnya dan kepalan tangan menghajar udara.

Menyimak 11 lagu di dalam album ini, yang merupakan album ketiga dari Four Year Strong, tak ubahnya mengikuti rentetan kumpulan trek emo yang terasa pernah didengar sebelumnya. Lama-lama intensitasnya menghilang dan menjadi sekedar lagu yang lewat saja. Kalau sudah begini putar ulang dari awal untuk mendapatkan gairahnya kembali.

Old Skuller

Thursday, March 11, 2010

Review Album: Lady Gaga - The Fame Monster


Kalau hanya diberi dua kata untuk menjelaskan album ini, maka kedua kata tersebut adalah enak didengar. Dan seharusnya review album ini cukup berhenti di sini saja untuk menyakinkan album ini sebaiknya dibeli.

Namun review ini tidak bisa berhenti di dua kata saja. Tidak perlu disanggah lagi kalau Lady Gaga adalah ratu hit yang mengharu biru pendengar musik arus utama. Gema yang ditabirkan album sebelumnya, The Fame, masih bergaung sampai sekarang dan belum ada tanda untuk tenggelam. Pihak Universal Music Indonesia juga menkonfirmasikan bahwa penjualan album The Fame masih berjalan baik.

Karena itu pemunculan The Fame Monster dirasakan seperti album yang dipaksakan harus keluar mengingat Lady Gaga masih memiliki daya jual dan belum terlupakan. Di jaman seperti ini, orang mudah untuk lupa dan dilupakan.

Bukan berarti album ini berisikan lagu yang tidak bisa didengar. Faktanya, seperti yang kami bilang dari awal, album ini enak didengar. Tapi jalinan antar lagu tidak terasa sebagai album penuh. Ini terasa seperti mengumpulkan lagu yang tersisa dari sesi rekaman sebelumnya dan tambahkan beberapa lagu baru untuk kemudian bisa dianggap sebagai album baru. Industri telah sepenuhnya memanfaatkan sukses fenomenal Lady Gaga untuk mengeruk keuntungan lebih besar.

Hal ini tidak sepenuhnya ditampik oleh perusahaan rekamannya. The Fame Monster disebt sebagai expanded album dari album sebelumnya. Jadi ini menjadi semacam pelengkap dari album sebelumnya. Apa pun itu namanya selama masih enak didengar kami terima saja. Lagi pula tidak terlalu penting juga menjelaskan lebih jauh mengapa secara teknis album ini enak didengar bukan?

Bad Romance punya segala yang diperlukan untuk menjadi hit. Intro yang bisa dibuat bernyanyi bersama dan hook di mana-mana. Selanjutnya kita dibawa mengingatkan kembali bahwa dulu di jaman 80-an ada yang namanya pop elektronik. 20 tahun kemudian, pop elektronik dihidupkan kembali dengan lebih memukau.

Alasan lain untuk membeli album ini adalah bagi mereka yang belum membeli album sebelumnya. The Fame Monster dipaketkan bersama dengan The Fame. Cepat dapatkan sebelum euphoria ini menghilang.

Old Skuller

Wednesday, March 3, 2010

Review Album: Creed - Full Circle


Band yang menjadi tonggak dari sejarah sound modern rock ini tidak pernah menjadi perhatian kami. Walaupun memiliki tiga album sebelumnya, tetapi peristiwa bubarnya Creed di tahun 2004 dan reuni lima tahun kemudian tetap tidak membuat saya lebih tertarik. Menjamurnya band-band modern rock juga tidak menjadi perhatian kami, karena menurut kami tidak ada pembeda di antara mereka. Ketika kami tidak tahu siapa yang didengar di radio, kami sulit untuk menerka siapa band modern rock ini yang sedang diputar. Berbeda ketika dengan cepat kami bisa mengira ini permainan gitar Eddie Van Halen, walaupun yang diputar adalah single baru yang belum pernah didengar sebelumnya.

Creed memiliki apa yang dimaui oleh anak muda pada era 1990-an saat awal mereka muncul, yaitu citra suara yang keras dan vocal kasar yang melodik. Mereka lebih keras daripada band glam dan jauh lebih lembek daripada band metal. Berada di antaranya membuat modern rock sempat masuk ke papan tangga lagu menggantikan sound alternatif.

Resep yang disajikan Creed dalam album reuni ini, Full Cirrcle, tidak berbeda dengan album-album sebelumnya. Creed punya intro dan rif yang menggebrak, serta punya verse, bridge dan chorus yang mudah ditangkap. Semua itu itu disajikn dalam satu menit pertama tiap lagunya. Sehingga total 12 lagu dalam album ini sebnarnya bisa disingkat menjadi 12 menit saja untuk mendapatkan esensi dari keseluruhan album.

Nomor seperti Rain memang enak didengar. Fear menghentak dan sempat mencuri perhatian. Tapi sekali lagi, seperti album-album sebelumnya, Creed tidak bsa menyalurkan energinya sampai ke kami. Creed punya segudang rif dan produksi bagus untuk membuat suara yang keluar seperti menghancurkan tulang, namun tidak pernah terdengar benar-benar punya jiwa.

Satu menit dari setiap lagi sudah cukup. Kami tidak tertarik untuk mengulang memutar album ini karena tidak ada rasa yang bisa membuat kangen atau kemudian tumbuh rasa suka. Kalau pun band ini bubar lagi, kami juga tidak terlalu peduli.

Old Skuller

Tuesday, February 23, 2010

Review Album: Thirty Seconds To Mars - This Is War


Jangan terburu-buru menghakimi album terbaru Thirty Seconds To Mars hanya dengan melihat sampul albumnya yang terlihat seperti tato murahan, stiker di belakang pantat truk atau iklan promosi taman safari. Di dalam album This Is War tersimpan suatu kejutan yang mungkin menjadi puncak pencapaian band yang dikomandoi Jared Leto.

Dari sekian detil awal trek pertama, band emo ini sudah mampu menggiring pendengaran bahwa kita akan memasuki aksi epik suatu negara yang bersiap berperang. Emo dengan tema perang sudah cukup membuatnya unik, apalagi pada trek kedua dan berikutnya, Thirty Seconds To Mars memadukan pop elektronik 80an ala Duran Duran dengan gemerincing drum, bass dan gitar elektrik yang solid di dapur produksi.

Banyak break yang mereka tebarkan di hampir semua lagu begitu ampuh untuk membuat pendengarnya meloncat sambil mengocok air guitar. Bisa dibayangkan ini akan menjadi aksi dramatis di atas panggung yang menekan tombol histeria.

Lagu-lagu kuat di dalam album ini menyalakan anthem yang membakar jiwa sekaligus mengiris hati. Terbayang suasana hati seorang pejuang yang siap ke medan perang menyabung nyawa demi negaranya, meninggalkan keluarganya agar mereka tetap aman. Night of the Hunter, Kings and Queens, This Is War dan Vox Populi bisa menjadi nomor emo yang legendaris yang akan selalu diingat oleh penggemarnya.

Citra emo yang kinyis-kinyis lenyap dalam album ini. Album This Is War adalah sebuah album konsep yang dirancang matang untuk didengar secara lebih serius. Lagu-lagu yang terdapat di dalamnya tidak hanya dimaksudkan untuk menghibur pendengaran, tetapi juga bertujuan untuk mengetuk hati. Hati ini terasa tertonjok ketika gerungan vokal Jared Leto dan hentakan rock beralih ke paduan suara, yang mengambil The Wall dari Pink Floyd sebagai acuan.

This Is War adalah salah satu album terbaik dari tren emo yang diperkirakan tidak berumur panjang. Tapi kalau ada album konsep lainnya lagi seperti ini, rasanya sebaiknya emo tidak buru-buru padam.

Jarred Letto telah mengambil langkah yang benar. Mengabaikan karir peran filmnya dan lebih berkontribusi di sebuah band rock yang membuat namanya menjadi lebih harum. Dia mendapatkan stempel setuju dari penggemarnya.

Old Skuller

Thursday, December 17, 2009

Review Album: Rihanna - Rated R


Saat Hip Master menyerahkan CD album ini untuk direview, alis mata ini sempat naik. Gak salah, Not-so-pink Chick had to do the review? Tapi alis mata ini menurun dan kuping semakin terbuka lebar baru pada trek pembukanya saja.

Mad House adalah trek pendek yang membuka pintu pada dunia kegelapan pasca kekerasan domestik. Kalau pada album sebelumnya Rihanna adalah bad girl, di Rated R, Rihana bertransformasi menjadi dangerous lady.

Peringatan berbahaya ini tidak hanya ditunjukkan pada sampul album. Rihanna seperti seorang yang saat ini harus melewati lorong gelap untuk kemudian memuncak pada balas dendam berdarah yang tidak memiliki titik balik.

Sound studio modern yang sudah terlalu sering untuk mengeluarkan suara produk jualan, dibentuk untuk mengitari benteng kelam. Nomor balada tidak terasa sebagai balada karena tempo yang pelan membuatnya sulit untuk dibedakan.

Mereka yang mengharapkan copy paste dari album sebelumnya akan sangat kecewa. Mulai dari trek kedua, Wait Your Turn, pendengar sudah terjebak ke dalam lubang hitam yang menyedot semakin dalam. Vokal Rihanna yang berbau Jamaika dengan teliti bisa masuk ke dalam alam baru. Rockstar 101 yang juga dibesut Slash menggebuk orang-orang yang mengira Hip hop hanyalah untuk berpesta. Russian Roulette yang sempat kami tidak perhatikan di awal dirilisnya sebagai single kini dirasakan relevan dengan keseluruhan album. Russian Roulette hampir terdengar seperti power ballad paling gelap dari glam hair rock band yang tidak mungkin laku di pasar tetapi dipuja oleh penggemarnya.

Photographs yang sempat menaikkan tempo bahkan terdengar seperti cemoohan bagi mereka yang masih berharap akan ada aroma pesta di album ini. The Last Song menuntaskan bahwa album ini adalah album yang terlalu personal.

Ini bukanlah album hip hop biasa. Bukan seperti album hip hop lain yang membuat telinga bebal.

Not-so-pink Chick

Friday, December 4, 2009

Review Album: Gama Bomb - Tales From The Grave In Space


Tunggu. Kami cari nafas dulu, setelah ngos-ngosan kejar-kejaran dengan tempo cepat yang diusung band retro thrash, Gama Bomb. Album ketiga mereka, Tales From The Grave In Space berisikan geberan 12 trek gas pol. Tidak ada balada manis di album ini. Semua trek mengandung produksi kelas top mengangkat kembali thrash yang sempat mati suri.

Pendekatan yang dilakukan Gama Bomb adalah menderu secepat yang thrash bisa mainkan, vokal semi bersih berderit dan lirik yang...fun! Sementara band thrash yang lain membicarakan tentang pesan sosial, perang dan segala yang berbau kegelapan, Gama Bomb malah menyanyikan lagu tentang Atlantis, ninja sampai mumi. Begitu pula yang dirasakan kami saat mendengarkannya. Tidak perlu terlalu membuat kuping berkerut sampai dengan tekun medengarnya, nikmati saja kesenangan ini.

Dikemas dengan produksi studio modern, musik yang digarap Gama Bomb terdengar seperti Anthrax jaman awal ditambah dengan sedikit polesan punk dan cross over. Kombinasi inimembuat mendengarkan Gama Bomb menjadi lebih lepas.

Dan bagi yang tidak tahu, album ini dapat diperoleh secara gratis. Ini adalah tendangan awal dari Gama Bomb yang mengikat kontrak 360 derajat dengn label rekamannya, Earache Records. Gama Bomb membagikan albumnya secara gratis, kemudian band dan label akan berbagi penghasilan dari pemasukan yang lain misalnya dari merchandise dan tiket konser.

Old Skuller

Wednesday, December 2, 2009

Review Album: Orianthi - Believe


Inilah gitaris utama yang seharusnya mendampingi Michael Jackson di konser besar This Is It. Sebagai gitaris utama, maka dia pasti bisa memainkan solo Beat It dari Eddie Van Halen, riff dan solo Black Or White dari Slash dan crunchy solo Dirty Diana dari Steve Stevens.

Pemunculan album Believe datang pada momentum yang tepat. Orianthi mendapatkan eksposur yang cukup besar setelah kematian MJ. Orianthi tampil di panggung pemakaman MJ dan mendapat porsi yang mencolok di film This Is It. Promosi sudah berjalan.

Believe terdengar seperti kombinasi candy pop, glam rock, sedikit country dan shred oleh virtuoso. Orianthi bagaikan bunglon dan membubuhkan tanda tangan riff serta solo dalam berbagai lagu. Single pertamanya, According To You adalah wujud Demi Lovato, What's It Gonna Be hampir terdengar seperti Bon Jovi dan Highly Strung adalah nomor instrumental persembahan untuk sang dewa gitar Steve Vai, bahkan Steve Vai juga ikut memainkan gitar di dalamnya.

Belum ada identitas yang solid dari Orianthi di album ini. Sound drum yang tipis membuat keseluruhan album ini tidak terdengar betul-betul ngerock. Pemilihan sound seperti ini sepertinya disengaja agar Orianthi bisa lebih bebas bermain di banyak genre dalam satu album. Tentunya cara ini dipakai untuk memperlebar pangsa pasar. Para penggemar candy pop tentunya keberatan kalau dalam seluruh album harus mendengarkan beat yang terlalu berat. Beleive memberi kesempatan kepada para penggemar candy pop untuk naik ke tingkatan selanjutnya, tanpa harus terlalu keras memaksa.

Justru kami lebih menyukai nomor-nomor yang punya tendensi lebih kencang seperti Suffocated, Think Like A Man dan What's It Gonna Be, serta tentu saja Highly Strung. Tapi kami tidak mengatakan trek yang tidak ngerock tidak bisa kami nikmati. Di dalam trek yang ringan, jiwa Orianthi tetap tidak terhapus.

Di lain waktu, kami berharap Orianthi akan membuat album yang lebih keras. Dan mungkin saja, Orianthi akan mengeluarkan album gitar instrumental.

You go girl!

Not-so-pink Chick

Tuesday, December 1, 2009

Review Album: Nirvana - Live At Reading


Pada tahun 1992, setelah meledak lewat album Nevermind dan sebelum mengeluarkan In Utero, Nirvana melakukan salah satu konser yang paling legendaris di Reading Festival. Trio dari Seattle ini menjadi penutup dari festival besar yang tiap tahunnya diadakan di Inggris. Di saat itu, Nirvana sedang berada di puncak semua band di seluruh dunia. Bersamaan dengan popularitas yang diraihnya, Nirvana justru juga berusaha untuk menjauhi popularitasnya dengan cara membunuh citranya sendiri. Berulang kali wawancara yang dilakukan oleh band ini menghasilkan artikel yang tidak jelas juntrungannya. Di atas panggung, mereka pun melakukan hal yang sama. Tidak di mana-mana termasuk di Reading.

Ini menjadi latar belakang mengapa konser legendaris mereka juga bisa dikatakan sebagai konser yang tidak sepenuhnya bagus secara musikalitas dan produksi. Terdapat tiga kemungkinan mengapa di konser ini terjadi penurunan dibandingkan dengan versi albumnya.

a. Nirvana tidak memiliki keahlian bermusik yang mumpuni
Kelahiran Nirvana justru menghancurkan benteng besar yang dibangun oleh para pemusik yang benar-benar mengerti cara bermain musik, bahwa membuat musik harus bisa dengan benar dan baik memainkannya. Nirvana justru melecehkannya. Mereka mendemonstrasikan bahwa keahlian bermusik jauh di bawah para musisi malah bisa menghasilkan album yang cemerlang. Ini dibawa sampai ke atas panggung. Permainan Nirvana tidak stabil di setiap lagu. Kadang terlalu keras, kadang terlalu cepat dan kesalahan yang lain.

b. Terlalu mabuk untuk bermain dengan benar
Sudah bukan rahasia lagi kalau Kurt Cobain sering teler, termasuk saat naik panggung. Ini memberikan dampak kepada totalitas pemunculan mereka di atas panggung. Saat permainan mereka berantakan dan seakan tidak punya runtutan yang jelas di atas panggung, Nirvana memberikan kejuutan-kejutan. Kurt Cobain naik panggung dengan kursi roda, wig dan baju terusan seperti perempuan. Di akhir set mereka menghancurkan peralatan. Di dalam komunikasinya dengan penonton, Kurt meracau.

c. Nirvana dengan sengaja menjelekkan permainannya
Ini menjadi salah satu untuk membunuh citra mereka yang populer. Terlihat jelas saat mereka memainkan Smell Like Teen Spirit, nomor mereka yang paling hit. Justru di sini mereka melencengkan nada petikan gitar dan memberantakkan bagian solo.

Bagaimana pun, rilisan ini mencoba memberikan gambaran apa yang terjadi di konser yang banyak dibicarakan oleh media. dalam satu setengah jam lebih, Nirvana memainkan koleksi dari kebanyakan lagu di album Bleach dan Nevermind, serta beberapa lagu cover. Di dalam versi CD, terdapat total 24 lagu dimainkan, sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan lagi di konser-konser band sekarang. Dibuka dengan Breed dan ditutup dengan Teritorial Pissing, Nirvana memperdengarkan energi mereka di atas panggung. Disertai dengan kesalahan-kesalahan permainan mereka, ini membuat Nirvana adalah Nirvana yang seharusnya.

Not-so-pink Chick

Monday, November 30, 2009

Review Album: Owl City - Ocean Eyes


Kapan terakhir kalinya kita dengar satu album pop penuh dan berani mengatakan ini album pop yang keren? Oh belum lama yang lalu, waktu dengar album keduanya Mika. Kini perasaan itu muncul lagi.

Owl City adalah synth pop band yang beranggotakan hanya satu orang saja, Adam Young orangnya. Dalam album yang diberi titel, Ocean Eyes, dengan memajang ikonnya Dubai, Adam Young tidak bertendensi untuk bersusah-susah. Justru itu seharusnya makna pop yang sesungguhnya. Gampang masuk kuping dan terdengar enak tanpa ada rasa bersalah.

Adam Young memainkan mesin drumnnya sehingga selalu memberikan atmosfir gembira dalam setiap lagunya. Synthesizernya memberikan kesan blip-blip lampu kelap-kelip, bukannya di suatu pesta rave, tapi lampu di kamar. Seperti yang digambarkan dalam klip Fireflies.

Perasaan gembira yang datang juga bukan perasaan melonjak-melonjak yang tiba-tiba datang merasuk mengajak berdansa sampai berkeringat. Tapi lebih tepat kalau dikatakan sebagai perasaan gembira ketika kita membuka jendela dan melihat embun pagi.

Kalau didengar sekilas, warna yang ditampilkan di setiap lagu hampir mirip-mirip, yaotu beat drum yang berentet dan synth bebunyian lonceng-lonceng kecil. Tapi putar lagi album ini, variasi beat drumnya menjadi tidak membosankan, dan synthnya adalah suasana yang dibangun untuk setiap lagu.

Owl City - Ocean Eyes, punya apa yang seharusnya ada di setiap album pop. Mudah dan senang untuk didengar. Bahkan album ini lebih tepat kalau dikatakan sebagai indah.

Kami sempat mendengar album ini hampir tidak dirilis di Indonesia. Karena perjuangan dari karyawan Universal Music Indonesia, akhirnya album ini bisa di dapat dengan lebih mudah di sini. Pilihan yang berani dan tepat.

Not-so-pink Chick

Review Album: Ensiferum - From Afar


Mengikuti perkembangan arah genre metal kadang menggelikan. Perkembangannya tidak hanya didasari oleh musik saja, tetapi juga tema. Karena itu lahir lah metal bajak laut dan metal lagu rakyat atau dalam bahasa Inggrisnya folk metal. Ensiferum mengambil tema folk metal.

Musiknya adalah campuran dan kombinasi dari musik Eropa jaman kegelapan, power metal, melodic death dan vokal yang kasar. Sudah terbayang? Mendengarkan satu album Ensiferum seperti membawa kita kembali ke Eropa abad pertengahan dengan diiringi soundtrack metal. Dalam From Afar kita akan merasakan hembusan dingin angin di Eropa Utara, mengarungi lautan, penjelajahan ke desa-desa kecil, mabuk di tavern dan tentunya peperangan klasik.

Berarti ini adalah album yang bagus, karena kami bisa merasakan apa yang Ensiferum coba tawarkan kepada kami. Riff dan gempuran drum yang bertalu tidak diragukan lagi. Elemen folk tidak hanya berada di lapisan atasnya saja, tetapi berhasil masuk ke dalam ritme modern gitar, bas dan drum. Vokal kasar juga efektif digunakan tanpa menjadi terlalu menggelikan.

Apakah kami bilang tidak terlalu menggelikan? Karena ada momen yang sebenarnya terasa menggelikan, tetapi kemudian hilang dilibas oleh deru sound metal modern.

Kalau saja kami bisa lebih flus mendengarkannya tanpa mencoba mencari bahan tertawaan, Ensiferum adalah band yang serius. Serius dengan tema yang dibawakannya. Sampai anginnya pun terasa menusuk tulang.

Old Skuller

Wednesday, November 25, 2009

Review Album: Breaking Benjamin - Dear Agony


Dalam sejarah musik rock, sub genre modern rock menempati posisi yang paling bawah. Walaupun modern rock meneruskan istilah rock tak pernah mati, hanya berubah bentuk, tetapi sub genre ini tidak banyak menghasilkan inovasi dan variasi.

Mari kita lebih jujur dengan diri sendiri. Modern rock memang berhasil menendang kuping karena kesederhanaan dan proses mixing yang membuat suara yang keluar lebih kencang. Tetapi modern rock terjebak pada kemiripan. Lick pendek, riff berat, ritem patah-patah dan vokal adalah elemen-elemen yang diadopsi oleh banyak band modern metal. Bahkan lebih parahnya lagi, kami tidak bisa mengingat wajah dari band-band ini.

Breaking Benjamin tidak banyak berbeda dengan band yang lain. Album terbarunya sangat mengejar sensasi momen pendengaran pertama. Lagu-lagunya membuat kami tertarik mendengarnya pada putaran pertama dan kedua. Tapi mulai putaran ketiga album ini tidak menyisakan sesuatu untuk lebih dieksplorasi lagi. Pada putaran-putaran berikutnya kami merasakan Breaking Benjamin terlalu nyaman dengan formula pasaran modern rock.

Dear Agony tidak berhasil untuk membuat pendengarnya semakin nyaman dalam putaran-putaran berikutnya. Saran kami, pinjam saja album ini dari orang lain. Setelah dua tiga kali mendengar, pinjamkan lagi kepada orang lain. Maka sensasi pendengaran pertama tidak terganggu.

Dalam momen pendengaran pertama, trek-trek seperti Fade Away, I Will Not Bow, Lights Out dan Dear Agony masih bisa enak dinikmati.

Not-so-pink Chick

Thursday, November 19, 2009

Buat generasi muda jaman sekarang, Black Sabath dan Led Zeppelin bisa jadi hanyalah legenda yang album-albumnya tidak pernah mereka dengarkan secara penuh untuk mengetahui lebih dalam mengapa band-band tersebut layak untuk disebut sebagai legenda. Lagipula siapa juga yang sekarang masih mendengarkan satu album penuh. Lagu-lagu yang disukai langsung dikonversikan ke MP3 dan masuk ke playlist di pemutar MP3.

Untungnya Wolfmother sebagai band dari generasi muda masih membawa warisan dari legenda yang semakin tua itu. Album kedua Wolfmother masih setia mengusung sound kuno yang drumnya tidak mengenal istilah trigger. Sound gitarnya menduplikasi sound yang pernah dipopulerkan oleh para sesepuh. Secara keseluruhan, album Cosmic Egg dari kuartet Andrew Stockdale pada vocal dan gitar, Ian Peres memegang bas dan keyboard, Aidan Nemeth mengiringi dengan gitar dan Dave Atkins di belakang drum, terdengar seperti album rock tua yang diremaster.

Cosmic Egg, walaupun nama albumnya terdengar konyol, sama sekali tidak menyuguhkan kekonyolan salama 50 menit lebih di 12 treknya. Wolfmother seakan memutar mesin waktu dan menghidupkan kembali kegemilangan apa yang sekarang sering disebut sebagai classic rock.

Jika di album sebelumnya Wolfmother terdengar lebih Led Zeppelin, dalam Cosmic Egg, mereka menambahkan kronologi musik rock dengan Black Sabath dan The Beatles. Di nomor pembuka, California Queen, sangat terasa bahwa Wolfmother memuja Black Sabath dengan sound gitar downtuned dan rif berat yang kelam. Baru pada nomor ketiga, Whitefeather, kita kembali mendengar Wolfmother yang sangat Led Zeppelin. Di nomor-nomor bertempo lambat, bahkan Wolfmother menyenandungkan harmoni ala The Beatles dengan tambahan rif gitar yang berat dan ketat.

Album kedua Wolfmother ini menunjukkan peningkatan performa mereka. Cosmis Egg adalah album lebih enak untuk dinikmati dibandingkan album pertama mereka yang dilabeli sama dengan nama grupnya. Nomor-nomor yang tampil di album ini lebih mudah masuk ke dalam telinga, bahkan sambil leyeh-leyeh sekali pun.

10,000 Feet menjadi salah satu favorit Old Skuller. Hampir mengingatkan kepada Kashmir, lagu ini memiliki riff tebal mengiringi alur vokal paten yang membuat Old Skuller menyembah-nyembah. Cosmic Egg, judul lagu yang konyol tapi sungguh hasilnya sangat eksplosif, juga menjadi nomor favorit. Kalau Led Zeppelin lebih ngerock inilah hasilnya. Tendangan bass drum yang lebih kecang masuk bareng dengan riff yang memuncak. Perasaan ini terasa terguncang.

Pelajaran sejarah musik rock ini sudah dipastikan menjadi salah satu album terbaik di tahun 2009. Bahkan termasuk dalam album terbaik dekade 2000-an.

Old Skuller

Review Album: Shadows Fall - Retribution


Universal Music Indonesia termasuk cukup berbaik hati dengan penggemar metal di Indonesia. Sementara rilisan mteal semakin kering terlihat di display rak tok CD, rilisan UMI yang diambil dari Spinefarm Records cukup memberikan perbedaan di antara yang kebanyakan.

Sebagai penghargaan L@L kepada UMI, kami mengambil album Shadows Fall terbaru, yaitu Retribution untuk kami tulis reviewnya sekarang ini. Shadows Fall adalah band metal khas Amerika yang sekarang sering disebut juga sebagai modern metal, atau dengan kata lain kebingungan media untuk memberikan kategori.

Band yang berformat standar: satu vokal, satu drum, satu bass, dan dua gitar; jatuhnya menjadi tidak terlalu thrash, jauh dari death metal, mirip-mirip Gothenburg, sesekali terdengar metalcore, dan kadang punya momen old school hardcore. Segalanya serba di antara.


Tapi bukan karena segalanya serba di antara, Shadows Fall tidak bisa menyajikan metal yang solid. Mengumbar lick dan riff melodik tanpa harus menjadi melembek, metal yang mereka bawakan tetap bertenaga dan menderu. Brian Fair yang mengisi posisi vokal juga bukan pajangan. Dia bertanggung jawab penuh untuk menyakinkan pendengarnya dengan lirik yang positif. Untuk memastikan pesannya sampai ke pendengar, Brian Fair memilih vokal dengan pendekatan, sekali lagi, diantara vokal bersih dengan mengeram.

Trek pembukanya, The Path to Imminent Ruin, yang berupa petikan gitar akustik, memberikan gambaran bahwa album ini akan lebih mengumbar harmoni melodik. Selanjutnya mereka menggenjot dengan tegangan tinggi, nomor-nomor cepat yang tidak memberi kesempatan bagi berhenti menghantamkan kepalanya.


Duet gitar Jonathan Donais dan Matt Bachand memberikan nilai tambah. Kolaborasi mereka menghasilkan melodi padu dengn tingkat kepejalan tinggi. Serta solonya (betapa kami sangat menginginkan lebih banyak solo) tidak dapat dibilang asalkan suara gitar berjalan melejit sendirian. Solonya dimasukkan di waktu tepat sehingga memberikan efek woa pada mulut pendengarnya.

Retribution adalah album yang bisa dibilang bagus karena cukup memenuhi kebutuhan akan metal yang baik. Tapi ini bukanlah album yang akan menjadi klasik, jadi jangan minta sesuatu yang berlebihan. Untuk penggemar metal yang mencari CD dengan harga Rp 75 ribu, Retribution adalah pilihan yang tepat.

Old Skuller

Friday, November 13, 2009

Review Album: Mika - The Boy Who Knew Too Much


Publik dan media selalu senang mengkotak-kotakkan musik. Tidak hanya dari genrenya saja, tapi juga sampai jenis kelamin. Ada musik yang untuk laki-laki, perempuan dan juga...gay.

Cher adalah penyanyi solo perempuan yang kabarnya banyak fansnya adalah gay. Sedangkan dari sisi ring lelaki ada Mika. Gaya flamboyan dan vokal falsetonya sering dikait-kaitkan dengan jenis musik yang banyak disukai oleh kaum penyuka sejenis.

Tapi ini tidak menghalangi kami di L@L untuk mengeksplorasi album terbaru Mika, The Boy Who Knew Too Much. Senangnya, keberanian kami terbayar lunas.

Penyanyi solo dari London ini membuka album dengan pop anthem yang menghentak. We Are Golden adalah pernyataan bahwa semua lagu dalam album ini akan sama menariknya dengan lagu pembukanya. Berikutnya kami diberondong dengan pop dance manis yang membuat kami ingin sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi memutar ulang seluruh albumnya. Rain tentu saja termasuk andalan yang sekarang sedang digeber di banyak stasiun radio.

Nomor-nomor baladanya juga sehalus perilaku Mika. I See You dan By The Time adalah nomor teramat manis yang bergerak pelan merasuk ke dalam hati. Album ini ditutup dengan nomor pedih Pick Up Off The Floor, melengkapi kebisaan Mika untuk bergerak di nomor dance penuh pesta sampai ke rintihan menggaruk-garuk lantai.

Untuk menjadi album pop baik memang memerlukan kerja yang teramat keras. Di sepanjang album, Mika memberikan kesederhanaan, sekaligus punya daya tinju yang teramat kuat. Semuanya konsisten dihadirkan dari awal album diputar sampai habis.

Album kedua Mika ini termasuk album terbaik yang pernah kami dengar sepanjang tahun ini. Sebagai album pop, maka album ini punya nilai lebih, karena seperti biasa tidak banyak album pop yang bagus.

Kembali ke paragraf awal, kalau dibilang Mika untuk gay, maka biarlah kami menjadi gay. Karena this album is so damn good.

Hip Master

Tuesday, November 10, 2009

Review Album: Pearl Jam - Backspacer


Pertanyaan yang timbul saat pertama kali memegang album terbaru dari Pearl Jam ini di tangan adalah apakah Backspacer masih bisa mengikuti selera anak muda? Kemudian kami kembali berpikir, Pearl Jam tidak pernah peduli dengan selera. Pearl Jam seharusnya selalu lebih maju daripada jamannya.

Terus terang kami memutar CD ini dengan penuh kekhawatiran. Apakah mereka sudah terlalu tua untuk kita dengarkan? Album Ten terdengar sangat keren ketika kami masih bercelana pendek dan Om kami menyodorkan sekeping CD sambil berkata, "Dengarkan ini untuk membuat masa muda kalian lebih memberontak." Nyatanya memang iya. Walaupun kami terlambat untuk menyimak Pearl Jam, tetapi sound 90-an masih terdengar modern di kuping kami. Selanjutnya kami menempatkan Pearl Jam sebagai dewa yang tidak bisa diutak-atik posisinya, baik dari sisi musikalitas maupun dilihat dari pemberontakan mereka melawan kemapanan.

Kemudian Om kami yang tumbuh bersama Pearl Jam sekarang sudah semakin sibuk dengan pekerjaannya dan berpakaian rapi setiap pagi ke kantor. Tidak ada bekasnya kalau Om kami pernah memberikan pernyataan yang membuat kami seperti disambar geledek.

Hal yang berputar di sekeliling kami membuat kami menjadi bertanya-tanya apakah Pearl Jam juga turut berputar? Yang berarti menyerahkan jiwa kepada setan untuk membuat lagu hit sekali dengar dan kemudian dilupakan.

Ada rasa yang berubah di keseluruhan album ini. Got Some membawa kami kembali ke lagu terenyah yang terdapat di album Vs. Johny Guitar menyalak galak mengingatkan bahwa Pearl Jam belum mati. Gonna See My Friend dan The Fixer adalah lagu-lagu awal yang memberikan peringatan untuk bersiap-siap mendegarkan yang berbeda dari Eddie Vedder dan kawan-kawan.

Backspacer terasa lebih santai dibandingkan dengan album-album mereka sebelumnya. Kalau pada trilogi awal, kami perlu untuk mengunyahnya lebih lama agar musiknya semakin menghujam di dalam kepala, kali ini tidak. Konteks penyelewengan rumusan industri musik hanya terasa sedikit sebagai bumbu identitas grup dari Seattle ini.

Dalam pembelaan kami, Pearl Jam sangat ingin menyindir bahwa lagu yang renyah tidak harus dibuat polos telanjang untuk dapat didengar oleh kuping sekarang. Musik harus tetap memiliki identitas agar kuping sedikit dipaksa untuk mengeksplorasinya lebih jauh.

Backspacer menjadi usaha yang terlalu berani, bukan dalam bentuk eksplorasi tapi lebih kepada mendekatkan diri pada pasar yang sudah berganti generasi. Dan bencinya lagi, kami menyukai keberanian mereka.

Not-so-pink Chick

Wednesday, September 16, 2009

Review Album: Noisettes - Wild Young Heart


Noisettes, trio dari kerajaan Inggris Raya, bukanlah kelompok yang populer. Padahal musik yang mereka tawarkan jauh dari kesan menolak komersial. Justru mereka dapat menyeimbangkan antara musik pop yang iramanya diterima mudah oleh pasar dengan musik yang lezat, gemuk dan bergizi.

Album ini berisikan campuran dari banyak genre. Termasuk lagu balada, funk dan soul ala Earth Wind and Fire, sampai pop post punk ala Yeah Yeah Yeahs. Karena keunikannya, mereka tidak pernah jatuh menjadi pop yang bodoh. Pintarnya pula, musik pop bergizi ini tidak perlu otak untuk mencernanya.

Karena itu, maka Noisettes kali ini tidak akan menjadi benar-benar meledak di pasar. Dengan memilih untuk tidak menjadi bodoh, maka pasar menjadi ragu0ragu untuk menerimanya. Seperti saat mendengar album ini secara keseluruhan dan kebingungan, apakah ini band pop, jazz, funk atau pop. Karena semuanya tersedia di album ini.

Sebagai seorang yang menikmati campur aduknya musik di tahun 90-an, untuk menyebut Noisettes sebagai band yang rancu dengan identitasnya, tentu hati tidak merasa tega. Lebih tepat untuk menyebut Noisettes sebagai band pop yang mendorong dirinya terlalu jauh, sedangkan pasar terlalu bodoh untuk menerimanya.

Sebagai materi untuk menemani mudik, album ini dapat menyenangkan bapak dan ibu, tapi tidak untuk adik kecil kita yang sedang terkontaminasi dengan pop pasaran.

Old Skuller
 

Copyight © 2009 Live@Loud. Created and designed by