Istilah ini sering dipakai artis musik kita, konser tunggal, terdengar seperti pagelaran maha agung yang diproduksi dengan keringat dan biaya yang lebih besar daripada konser-konser yang lain. Lalu apa bedanya dengan konser-konser keliling Nusantara yang mereka sering lakukan? Apa sebenarnya definisi dari Konser Tunggal?
Konser tunggal terdiri dari dua kata. Definisi untuk konser sudah cukup jelas, yaitu pertunjukan musik langsung biasanya di lakukan di atas panggung dan dihadiri oleh banyak orang yang membayar maupun tidak membayar. Misteri terbesarnya terletak pada kata tunggal. Apa arti tunggal di dalam konteks konser tunggal.
Tunggal bisa berarti sendiri. Kalau disambungkan dengan kata konser, maka jadi bermakna konser yang dilakukan tidak bersamaan dengan artis yang lain, seperti misalnya konser yang disponsori pabrik rokok yang menghadirkan banyak artis, baik yang bersifat festival maupun mini festival.
Tunggal juga bisa berarti sekali. Ini bermakna lain dengan tunggal yang sebelumnya. Kalau sekali, maka konser tunggal bisa berarti sebuah konser khusus yang mungkin hanya akan berlangsung dalam satu kali saja. Karena itu set list yang dihadirkan harus istimewa, entah itu adalah hit paling populer maupun menggeber semua lagu yang terdapat dalam satu album. Saking istimewanya, karena juga mengusung perangkat multimedia dan barisan penari latar, maka biaya produksi meningkat berhubung pabrik rokok tidak terlalu tertarik mensponsorinya, sehingga harga tiket ikut terkerek naik. Menjadi lebih istimewa konser tunggal ini karena harga tiket yang melambung, yang hadir menonton tentu harus dari kalangan tertentu yang punya uang berlebih, atau paling tidak fans setia yang rela mengeluarkan uang lebih besar dari anggaran bulanannya.
Awalnya saya pikir, konser tunggal mengikuti gaya musisi luar negeri dalam mementaskan konser yang berkonsep. Seperti konser harian Celine Dion di Las Vegas yang mengeruk untung sangat besar, konsep konser sirkus dari Britney Spears, 360 derajat dari U2, atau dengan perabotan pendukung yang lebih sederhana seperti An Evening With Dream Theater. Tetapi ini Indonesia, berbeda keadaan dan budayanya dengan yang di luar sana. Konser tunggal menerapkan konsep dan harga tiket lebih tinggi. Sementara konser mereka di luar sana - tanpa harus menyebutnya konser tunggal - dibawa berkeliling dunia, konser tunggal di Indonesia biasanya hanya dilakukan dalam satu malam saja.
Berdasarkan analisa rekaan di atas, maka definisi konser tunggal adalah berkonsep, harga tiket tinggi dan lebih ditekankan pada kemungkinan hanya akan berlangsung dalam satu kali pertunjukan saja. Tapi ini semua masuk ke dalam gimmick pemasaran yang bagus. Dengan penawaran yang super terbatas, maka permintaan bisa dibentuk dan harga dikatrol setinggi mungkin.
Punya definisi yang lain akan konser tunggal? Silakan berkomentar.
Old Skuller
Showing posts with label industri musik. Show all posts
Showing posts with label industri musik. Show all posts
Wednesday, June 23, 2010
Tuesday, May 11, 2010
Cas Cis Cus Musik: Idolamu Belum Tentu Nyata

Banyak orang mendengar musik. Banyak orang mengidolakan artis musik. Bahkan banyak orang di antara banyak orang itu terlalu serius mengidolakan artis musik sampai lirik dan gaya hidupnya diikuti. Di sini saya berani bilang bahwa membawa musik sampai ke titik yang ekstrim adalah suatu kesalahan besar.
Berapa banyak lagu cinta sejati yang pernah dibawakan oleh banyak artis? Mungkin porsi cinta adalah tema yang paling sering diangkat oleh artis musik. Tetapi berapa banyak juga dari artis yang di liriknya memuja cinta sejati akhirnya berujung pada hubungan putus sambung dan kawin cerai? Menurut statistik dari infotainment, jumlahnya mengisi porsi berita yang paling banyak diikuti oleh masyarakat. Senandung cinta sejati dan selamanya tidak akan pernah berakhir bagaikan lelucon dari mulut seorang komedian yang kemudian besok harinya direvisi dan diganti dengan lelucon yang lain.
Bagaimana dengan teriakan keputusasaan akan struktur masyarakat dan negara yang koyak? Ini juga menempati porsi yang banyak. Setiap negara punya pahlawan musiknya sendiri yang meneriakkan pemberontakan. Tapi ujungnya mereka mendapatkan begitu banyak uang dari ajakan revolusinya sehingga membentuk evolusi kekayaan untuk dirinya sendiri.
Lihat lagi berapa banyak artis yang mengajak pendengarnya untuk menjaga lingkungan demi warisan yang akan diturunkan ke anak cicit. Tema ini menjadi sangat tren karena segala berita yang berhubungan dengan pemanasan global. Tapi apakah ini benar-benar dilakukan dalam hidup para artis itu. Kekayaan cenderung membuat orang menjadi berlebihan. Dengan uang yang dimiliki mereka bisa membangun rumah yang maha besar sehingga memerlukan daya listrik yang besar juga serta aliran air yang deras untuk membuat tanamannya tampak rapi. Belum lagi konser egomaniak berskala stadium yang mengusung panggung maha besar dan tata lampu indah yang tentunya menyedot aliran listrik besar dan juga berton-ton minyak untuk mendukungnya.
Yang kelihatannya lebih ekstrim lagi adalah para artis yang menyalak buas akan aliran sesat yang mereka ikuti. Saya tidak yakin benar mereka menganut aliran sesat itu. Apa komentar dari ayah dan ibunya, atau bagaimana dia mempertanggungjawabkan liriknya kepada anaknya sendiri? Jawabannya adalah mereka tidak benar-benar beraliran sesat. Mereka hanya membuat-buatnya agar terlihat seram dan keren agar album dan tiket konsernya dibeli orang. Saya tidak pernah mendengar ada artis yang mengorbankan memotong kepala anaknya sendiri demi aliran sesat.
Tentunya argumen di atas tidak 100% benar. Tapi masih terdapat porsi kebenarannya. Mereka meneriakkan cinta tapi kawin cerai demi mencari cinta yang sebenarnya. Mereka meneriakkan pemberontakan tapi tidak berniat menjadi suksesor yang menumbangkan pemerintahan. Mereka mengajak menjaga lingkungan, dengan sebagian uangnya dianggarkan untuk membuat konser mewah dan sebagiannya lagi disumbangkan ke Green Peace. Dan pekikan sesat adalah sesuatu yang bisa diual di tengah kekacauan dunia.
Pada akhirnya musik, adalah seperti bisnis dan produk yang lain perlu sesutu pembeda dan perlu citra untuk kemudian dipersepsikan oleh penikmat dan pembelinya. Dengan datang ke konser anu dan membeli album serta kaosnya, maka penggemar akan merasa mereka telah melakukan sesuatu yang berguna untuk dirinya sendiri dan mungkin bisa berguna untuk orang yang lain. Dengan membeli produk-produk artis, maka pembelinya ingin dianggap di suatu golongan yang mempersepsikan artis tersebut. Tak ubahnya seperti konsumen membeli Mercedez dan BMW.
Seperti kata Joker, jangan terlalu serius.
Old Skuller
Labels:
Cas Cis Cus Musik,
industri musik,
Old Skuller
Thursday, February 18, 2010
Kolonel Sanders To The Rescue Musik Indonesia

Sebelumnya kami sudah memposting kandidat tokoh musik Indonesia tahun ini, yaitu Cinta Laura yang menyelamatkan muka industri tanah air dengan berhasil menjual 100 ribu copy albumnya hanya dalam waktu dua minggu sejak peluncurannya.
Kalau masih penasaran dan ragu-ragu ingin membeli album ini di gerai KFC, semua lagunya bisa di-stream di sini. Rasakan pengalaman album terpanas tahun ini, sepanas sajian ayam goreng yang baru saja diangkat dari penggorengan, yang bernuansa dance dan.....hmmm ya gitu deeeh.
Ingat musik Indonesia, ingat senyum Kolonel Sanders.
Not-so-pink Chick
Labels:
Cinta Laura,
industri musik,
KFC,
Not-so-pink Chick
Wednesday, February 17, 2010
Cinta Laura Penyelamat Industri Musik Indonesia

Di tengah prahara yang melanda industri musik, tiba-tiba saja mencuat berita yang menarik. Album Cinta Laura yang diberi titel sama dengan namanya sendiri, dalam dua minggu tanggal edar berhasil mencapai penjualan 100.000 kopi. Kami percaya angka ini tidak dibuat-buat. Kalau KFC yang restoran ayam goreng cepat saji itu sendiri sebagai distributor dari album ini berani membuat berita seperti ini, dan dimuat oleh banyak media, berarti angka ini bukan main-main.
Angka 100.000 adalah angka yang besar di hari seperti ini. Mungkin ini sepadan dengan angka satu juta di hari bahagia. Apalagi kami tidak pernah mendengar acara peluncurannya. Ini seperti keajaiban musik Indonesia dan daya magis pemasaran.
Posting ini tidak akan membicarakan mengenai degradasi selera pasar Indonesia. Justru kami salut atas pencapaian ini. Kami lebih ingin membahas secara logika pemasaran bagaimana angka tersebut dapat tercapai.
1. KFC adalah kunci utama
Bagaimana bisa restoran ayam goreng cepat saji bisa menjual album musik sebanyak itu? Sebenarnya ada dua pertanyaan dalam satu kalimat pertanyaan panjang itu. Kami jawab dulu yang pertama. Kok bisa restoran jualan album musik? KFC hanyalah salah satunya. Starbucks, kedai kopi mahal yang rasanya tidak sebanding dengan harganya itu, juga jualan album musik di setiap counternya. Ada dua tujuan chain restoran ini menjual produk lain selain produk intinya. Pertama adalah memperbesar cakupan komunikasi merek dan kedua adalah memang menarik pendapatan dari produk lain ini.
Menjawab pertanyaan kedua yaotu bagaimana bisa sebanyak itu? Dengan jumlah toko kaset dan CD yang semakin menyusut, maka jumlah otlet KFC hampir bisa dipastikan jauh lebih banyak dari semua toko kaset dan CD di seantero Indonesia. Dari sini saja sudah terlihat jelas. Jalur distribusi yang lebih luas memperbesar kemungkinan untuk sebuah produk terjual lebih banyak. Di sini ada unsur kemudahan mendapatkan albumnya sebagai daya saing dengan album-album lain yang hanya dijual di otlet tradisional.
2. Para penjaja yang gigih
Pernah makan di KFC? Kalau pernah tentu pernah merasakan juga ditawari CD album musik tepat selagi kita menunggu pesanan datang dan sebelum membayar. Kalau semua orang yang berdiri di antrian seluruh KF ditawari, tentu saja di antara mereka ada yang membeli.
Di sini juga terjadi teori memperbesar peluang untuk meraih pendapatan maksimal. Ditambah dengan kegigihan penjaja setiap penunggu counter kasir KFC, teori ini mendapatkan daya lebih besar. Hal ini tidak pernah terjadi di toko kaset dan CD mana pun. Mana ada penjaga toko kaset dan CD menawarkan satu album tertentu ke setiap pengunjung tokonya.
Angka 100.000 ini membuktikan bahwa masih ada peluang besar di industri musik Indonesia. Yang diperlukan memang terobosan, terutama di jalur distribusi. Produk bajakan yang laku di pasaran, selain harganya yang lebih murah, juga menganut teori di atas, distribusi yang luas untuk memberi kemudahan konsumen mendapatkan produk.
Setelah industri di Amerika Serikat diselamatkan oleh Susan Boyle, Indonesia diselamatkan oleh Cinta Laura. Suka atau tidak suka.
Old Skuller
Labels:
Cinta Laura,
industri musik,
KFC,
Old Skuller
Tuesday, January 12, 2010
Whatever: 2010 Seharusnya Menjanjikan
Sudah seminggu lebih sedikit 2010 bersama kita. Seperti memang sifatnya waktu, terus berjalan tidak mau menengok ke belakang siapa saja yang tertinggal. Walau berjalan terus, awal tahun dekade baru ini masih merayap lambat. Seakan para artis terlalu lama mengambil liburan, mereka lupa untuk mengisi sisi otak kita yang sudah terlalu penuh disesaki sampah konsumerisme.
Kalau melihat dari tren berdasarkan sejarah, 2010 adalah awal dekade yang menjanjikan karya-karya bermutu dalam artian sebenarnya. Kilas balik dari tahun 1960-an memperlihatkan musik populer baru meledak, dan karena disebut sebagai musik pop maka keseragaman selera terjadi menyambut industri yang masih berbentuk bayi manis. Tahun 70-an memasuki era penambahan usia. Mulai muncul musisi dan pelaku film yang tidak hanya sekedar melayani apa yang diklaim oleh industri sebagai selera pasar. Terbit art rock yang kemudian dilibas punk, keduanya adalah penolakan terhadap industri yang mulai terlihat seperti pabrik dengan ban berjalan. Walaupun sukses secara komersial, film yang dirilis pada dekade berbunga-bunga ini dijadikan sebagai tolak ukur bagusnya film, The Godfather masih film mafia (atau keluarga) terbaik dengan cerita yang sebenarnya sederhana tapi dieksekusi secara brilian, Apocalypse Now menutup dekade ini dengan penyanggahan perlunya sebuah perang.
Memasuki tahun genap, 80-an adalah masa penuh warna dalam budaya pop dalam bungkus pop corn. Musik pop semakin deras dieksploitasi, musik di luar pop pun menjadi kepop-pop-an. Film Hollywood mulai merajalela mencengkramkan kuku di negara lain, di seluruh dunia. Proses cuci otak dimulai.
90-an adalah puncak dari segala-galanya arus penolakan, sebelum Internet masuk ke relung hidup dan mengakibatkan kekacauan yang belum bisa diselesaikan sampai sekarang. Artis indie bermunculan dan memutuskan arus utama. Mereka muncul dari mana saja, tidak peduli tempat mereka berasal. Selama di luar kebiasaan, maka mereka dianggap yang paling hebat. Hebatnya lagi, ledakan ini terjadi tanpa bantuan teknologi Internet. Entah dari mana tiba-tiba seseorang bisa sudah mendengar albu terbaru dari artis yang belum pernah kita dengar sebelumnya, dan entah bagaimana caranya seseorang bisa mendapatkan copy sebuah film cult yang dipuja di belahan dunia yang lain.
Milenium awal kembali ke era 80-an, bahkan tren di tahun tersebut dicopy ulang untuk diangkat kembali. 00-an bukanlah era yang terlalu menggembirakan. Teknologi membantu dalam lebih cepat menyebarkan informasi dan produk. Tetapi teknologi juga menggampangkan mereka yang belum benar bisa menciptakan sesuatu dan kemudian tiba-tiba menjadi pencipta. Walaupun jumlah pembajakan meningkat, tapi jumlah karya tidak juga berkurang, bahkan melonjak cepat. Untungnya masih ada pop indie yang menyelamatkan 10 tahun terakhir.
Tahun 2010 seharusnya adalah refleksi dari 00-an. Kita sudah hampir muak dengan timbunan tak berguna. Kita harus mengais-ngais untuk mendapatkan sesuatu yang belum tentu bagus benar. Era penolakan harus dimulai lagi. Siapkan dulu senjatanya, tidak perlu buru-buru. Untuk sesuatu yang bagus, kami bisa menunggu sedikit lebih lama.
Live@Loud Crew
Kalau melihat dari tren berdasarkan sejarah, 2010 adalah awal dekade yang menjanjikan karya-karya bermutu dalam artian sebenarnya. Kilas balik dari tahun 1960-an memperlihatkan musik populer baru meledak, dan karena disebut sebagai musik pop maka keseragaman selera terjadi menyambut industri yang masih berbentuk bayi manis. Tahun 70-an memasuki era penambahan usia. Mulai muncul musisi dan pelaku film yang tidak hanya sekedar melayani apa yang diklaim oleh industri sebagai selera pasar. Terbit art rock yang kemudian dilibas punk, keduanya adalah penolakan terhadap industri yang mulai terlihat seperti pabrik dengan ban berjalan. Walaupun sukses secara komersial, film yang dirilis pada dekade berbunga-bunga ini dijadikan sebagai tolak ukur bagusnya film, The Godfather masih film mafia (atau keluarga) terbaik dengan cerita yang sebenarnya sederhana tapi dieksekusi secara brilian, Apocalypse Now menutup dekade ini dengan penyanggahan perlunya sebuah perang.
Memasuki tahun genap, 80-an adalah masa penuh warna dalam budaya pop dalam bungkus pop corn. Musik pop semakin deras dieksploitasi, musik di luar pop pun menjadi kepop-pop-an. Film Hollywood mulai merajalela mencengkramkan kuku di negara lain, di seluruh dunia. Proses cuci otak dimulai.
90-an adalah puncak dari segala-galanya arus penolakan, sebelum Internet masuk ke relung hidup dan mengakibatkan kekacauan yang belum bisa diselesaikan sampai sekarang. Artis indie bermunculan dan memutuskan arus utama. Mereka muncul dari mana saja, tidak peduli tempat mereka berasal. Selama di luar kebiasaan, maka mereka dianggap yang paling hebat. Hebatnya lagi, ledakan ini terjadi tanpa bantuan teknologi Internet. Entah dari mana tiba-tiba seseorang bisa sudah mendengar albu terbaru dari artis yang belum pernah kita dengar sebelumnya, dan entah bagaimana caranya seseorang bisa mendapatkan copy sebuah film cult yang dipuja di belahan dunia yang lain.
Milenium awal kembali ke era 80-an, bahkan tren di tahun tersebut dicopy ulang untuk diangkat kembali. 00-an bukanlah era yang terlalu menggembirakan. Teknologi membantu dalam lebih cepat menyebarkan informasi dan produk. Tetapi teknologi juga menggampangkan mereka yang belum benar bisa menciptakan sesuatu dan kemudian tiba-tiba menjadi pencipta. Walaupun jumlah pembajakan meningkat, tapi jumlah karya tidak juga berkurang, bahkan melonjak cepat. Untungnya masih ada pop indie yang menyelamatkan 10 tahun terakhir.
Tahun 2010 seharusnya adalah refleksi dari 00-an. Kita sudah hampir muak dengan timbunan tak berguna. Kita harus mengais-ngais untuk mendapatkan sesuatu yang belum tentu bagus benar. Era penolakan harus dimulai lagi. Siapkan dulu senjatanya, tidak perlu buru-buru. Untuk sesuatu yang bagus, kami bisa menunggu sedikit lebih lama.
Live@Loud Crew
Labels:
industri film,
industri musik,
whatever
Wednesday, October 7, 2009
Tech & Ent: Digital Lebih Murah
Kalau kamu termasuk orang yang membeli konten digital dan tidak peduli dengan fisik packaging, maka teruskan membaca posting ini. Sebelum era digital, para konsumen harus memiliki kantung yang tebal untuk mendapatkan prduk-produk impor sampai datang ke depan rumahnya. Soal harga pokok produknya belum tentu lebih mahal. Di Internet, kalau rajin mencari, maka bisa didapatkan harga pokok yang lebih murah bahkan mungkin lebih murah daripada produk rilisan lokal berlisensi. Yang membuat konsumen harus mengeluarkan lebih banyak uang adalah untuk biaya pengiriman dan biaya bea masuk impor. Bisa jadi nilai total keseluruhan naik dua kali lipat dibandingkan dengan harga pokok produknya dan lebih mahal daripada membeli versi impor di toko lokal.
Sampai datanglah era digital. Produk-produk yang dulunya fisiknya harus dikapalkan kini bisa lebih cepat diterima di tangan pembeli dengan cara mendownloadnya.
Bagi penggemar buku, pembelian digital diterima dengan lebih baik. Selama harga digital bisa lebih murah daripada harga fisik impor di toko lokal, maka fitur digital ini akan sangat membantu.
Bagi penggemar film juga tidak banyak masalah. Siapa yang masih perlu untuk menyimpan cover dari DVD? Tapi siapa juga yang membeli film lewat Internet di Indonesia?
Pro dan kontra lebih banyak terjadi di industri musik. Banyak yang berteriak bahwa format digital belum bisa menjembatani kebutuhan semua artis. Tapi sebagai teknologi baru, maka pasar terus didesak untuk mengkonsumsinya dengan cara baru. Ini era digital man! Fisik sudah terlalu tua.
Bagi yang lebih mementingkan konten daripada sampul album, mereka sangat berterima kasih dengan tersedianya format digital. Para penggemar musik lebih mudah untuk mencari tambahan koleksi lewat Internet dan segera menikmatinya tersaji masuk ke dalam komputer.
Apalagi jelas biaya yang dikeluarkan lebih murah. Gampang dicari, lebih cepat sampai untuk dinikmati, tidak ada biaya pengiriman, tidak ada biaya bea masuk impor.
Saatnya untuk pindah ke digital? Mungkin belum sepenuhnya. Perlu satu generasi lagi untuk mendigitalkan semuanya.
Atau nanti tiba-tiba muncul teknologi baru yang menggantikan format digital? Kita tidak tahu.
Hip Master
Sampai datanglah era digital. Produk-produk yang dulunya fisiknya harus dikapalkan kini bisa lebih cepat diterima di tangan pembeli dengan cara mendownloadnya.
Bagi penggemar buku, pembelian digital diterima dengan lebih baik. Selama harga digital bisa lebih murah daripada harga fisik impor di toko lokal, maka fitur digital ini akan sangat membantu.
Bagi penggemar film juga tidak banyak masalah. Siapa yang masih perlu untuk menyimpan cover dari DVD? Tapi siapa juga yang membeli film lewat Internet di Indonesia?
Pro dan kontra lebih banyak terjadi di industri musik. Banyak yang berteriak bahwa format digital belum bisa menjembatani kebutuhan semua artis. Tapi sebagai teknologi baru, maka pasar terus didesak untuk mengkonsumsinya dengan cara baru. Ini era digital man! Fisik sudah terlalu tua.
Bagi yang lebih mementingkan konten daripada sampul album, mereka sangat berterima kasih dengan tersedianya format digital. Para penggemar musik lebih mudah untuk mencari tambahan koleksi lewat Internet dan segera menikmatinya tersaji masuk ke dalam komputer.
Apalagi jelas biaya yang dikeluarkan lebih murah. Gampang dicari, lebih cepat sampai untuk dinikmati, tidak ada biaya pengiriman, tidak ada biaya bea masuk impor.
Saatnya untuk pindah ke digital? Mungkin belum sepenuhnya. Perlu satu generasi lagi untuk mendigitalkan semuanya.
Atau nanti tiba-tiba muncul teknologi baru yang menggantikan format digital? Kita tidak tahu.
Hip Master
Labels:
Hip Master,
industri musik,
Tech and Ent
Thursday, September 10, 2009
Whatever: Jumlah Yang diperlukan Untuk Sebuah Boy Band

Berasal dari Korea Selatan, Super Junior adalah boy band beranggotakan 13 orang. Diulangi lagi pakai tanda seru 13 orang! Korea mengikuti semangat Hollywood. Lebih besar dan lebih banyak.
Apa yang bisa dilakukan oleh boy band berisikan 13 orang. Tidak banyak berbeda dengan Backstreet Boys, yaitu menyanyi dan menari. Dengan jumlah sebanyak itu, bahkan Super Junior tidak memainkan alat musik sendiri. Jauh sekali dibandingkan dengan Beastie Boys.
Jumlah 13 orang ini menjadikan 13 kali kelipatan kegantengan yang ditawarkan untuk menggaet penggemar wanita muda. 13 orang akan memberikan lebih banyak pilihan untuk dipandang-pandang. 13 orang akan membuat koreografi lebih rancak. Tetapi tidak menyelamatkan kenyataan yang benar-benar menyanyi hanya satu orang saja. 12 orang lainnya bahkan tidak mampu untuk menjadi penyanyi latar.
Not-so-pink Chick
Labels:
industri musik,
Not-so-pink Chick,
Super Junior,
whatever
Tuesday, September 8, 2009
Tech & Ent: Harga Sebuah Album

Sebagai gambaran saja, kalau digeneralisasi, harga untuk satu single digital adalah $0,99. Sedangkan untuk satu album harganya menjadi $9,99. Ini berarti mereka menganggap sebuah album biasanya berisikan 10 lagu. Padahal pada kenyataannya ada satu album yang berisikan satu lagu yang super duper panjang.
Inilah salah satu ketidakseragaman dari sebuah karya musik. Para eksekutif industri retail yang tidak mengerti akan musik seenak perutnya mematok harga ritel digital. Padahal di dunia digital semuanya bisa saja terjadi.
Apa dasarnya mereka memasang harga sekian dollar, sedangkan ada toko digital kecil lain yang memberikan penawaran terserah bayar berapa saja, bahkan ada menawarkannya dengan gratis.
Elemen biaya yang muncul kurang lebih tidak banyak berbeda dengan CD fisik. Dari sekian harga yang ditawarkan di dalamnya sudah ada elemen royalti untuk artis, promosi, pemeliharaan situs dan infrasruktur. Kalau kita menghilangkan elemen lain seperti yang terdapat pada album fisik, seperti produksi CD, produksi artwork, distribusi dan penyimpanan, apakah benar pemotongan harganya bisa menghemat sekian dollar?
Jawabannya: tidak ada yang tahu pasti. Karena harga-harga ini masih termasuk misteri terbesar di dunia.
Kalau kami boleh menentukan harga album digital, maka terdapat dua pilihan kami. Kalau si artis mau membagikannya secara gratis, silakan saja, kami justru sangat senang karena merasa tidak bersalah. Pilihan kedua adalah membayar terserah berapa saja, asalkan tidak lebih dari $1 agar tidak kalah bersaing dengan harga Glodok.
Mungkinkah dijual $1 dan tetap mendapatkan keuntungan? Di dunia digital, tidak ada yang tidak mungkin.
Not-so-pink Chick
Labels:
industri musik,
Not-so-pink Chick,
Tech and Ent
Monday, September 7, 2009
Whatever: Lagu Religi Indonesia Paling Metal
Selain Ungu, ada band lain yang konsisten menyuarakan ayat-ayat Tuhan dan menyebarkan kebajikan. Bahkan band-band ini lebih keras daripada Ungu yang mengharu-biru. Mereka metal beragama.
Salah satunya adalah Purgatory, walaupun bukan nama yang sering didengar oleh anak-anak trendy, tapi mereka sejauh ini tetap dapat bertahan. Dianggap sebagai pengikut Slipknot, karena di panggung mereka sering menggunakan topeng. Tapi kemudian, setelah mereka menyadari tidak mungkin untuk terus mengikuti Slipknot yang sering berganti topeng, Purgatory akhirnya melepas topengnya. Ini salah satu video mereka yang berlatar belakang sejarah Islam.
Salah duanya adalah Tengkorak. Sebenarnya mereka tidak sepenuhnya bernuansa religi. Tapi vokalisnya, Ombat, di atas panggung seringkali berdakwah. Sempat menjadi band grind core terpanas di Indonesia, sebelum mereka membubarkan diri.
Sebagai saran saja, kalau membawakan pesan positif di lagunya, jangan memakai vokal yang suaranya tidak bisa kita mengerti. Karena suaranya gak bisa dimengerti, maka pesan gak sampai. Mungkin bisa dicoba metal core dengan vokal bersih.
Old Skuller
Salah satunya adalah Purgatory, walaupun bukan nama yang sering didengar oleh anak-anak trendy, tapi mereka sejauh ini tetap dapat bertahan. Dianggap sebagai pengikut Slipknot, karena di panggung mereka sering menggunakan topeng. Tapi kemudian, setelah mereka menyadari tidak mungkin untuk terus mengikuti Slipknot yang sering berganti topeng, Purgatory akhirnya melepas topengnya. Ini salah satu video mereka yang berlatar belakang sejarah Islam.
Salah duanya adalah Tengkorak. Sebenarnya mereka tidak sepenuhnya bernuansa religi. Tapi vokalisnya, Ombat, di atas panggung seringkali berdakwah. Sempat menjadi band grind core terpanas di Indonesia, sebelum mereka membubarkan diri.
Sebagai saran saja, kalau membawakan pesan positif di lagunya, jangan memakai vokal yang suaranya tidak bisa kita mengerti. Karena suaranya gak bisa dimengerti, maka pesan gak sampai. Mungkin bisa dicoba metal core dengan vokal bersih.
Old Skuller
Labels:
industri musik,
Old Skuller,
Purgatory,
Religi,
Tengkorak,
whatever
Friday, September 4, 2009
Whatever: Bukti Lagi Bahwa Artis termasuk Pekerjaan Berbahaya
Kami telah memperingatkan sebelumnya bahwa artis termasuk dalam daftar pekerjaan yang berbahaya. Sama berbahayanya dengan tukang pembersih jendela gedung tinggi. Iming-iming uang besar tentu disertai dengan resiko besar juga.
Bisa jadi artis punya banyak pesanan berpentas live dengan bayaran menggunung. Tetapi ketatnya jadwal mengharuskan si artis untuk terus menjaga kesehatan. Sakit bukan lagi pilihan. Ini bukan pekerjaan model kantoran yang bisa segampang itu ijin sakit dan bisa berbaring-baring di rumah. Show must go on!
Madonna baru-baru ini tak sadarkan diri sejenak di konsernya di Sofia. Di sini faktor U mungkin juga berpengaruh, secara di setiap konsernya Madonna sangat banyak bergerak menguras tenaga.
Old Skuller
Bisa jadi artis punya banyak pesanan berpentas live dengan bayaran menggunung. Tetapi ketatnya jadwal mengharuskan si artis untuk terus menjaga kesehatan. Sakit bukan lagi pilihan. Ini bukan pekerjaan model kantoran yang bisa segampang itu ijin sakit dan bisa berbaring-baring di rumah. Show must go on!
Madonna baru-baru ini tak sadarkan diri sejenak di konsernya di Sofia. Di sini faktor U mungkin juga berpengaruh, secara di setiap konsernya Madonna sangat banyak bergerak menguras tenaga.
Old Skuller
Labels:
industri musik,
Konser,
Madonna,
Old Skuller,
whatever
Thursday, September 3, 2009
Whatever: Nasihat Kami Dalam Membeli Produk-Produk Rohani

Menurut kami, semua ini hanyalah usaha para pemasar agar barangnya lebih laku terjual. Salah satu strategi yang paling banyak dipakai adalah manfaatkan momentum. Seperti saat bulan puasa ini semuanya tertuju untuk lebih banyak beribadah. Untuk mendukungnya maka suasananya pun dibuat untuk mendukung lebih banyak ibadah.
Buku adalah hal lain, kami akan mengeluarkan item ini dalam posting ini. Tetapi baju, film dan CD album adalah barang konsumsi yang mengikuti tren. Kami sering bilang if it is crap, then it is crap. Mau lagu rohani kek, mau lagu membangun kek, mau lagu depresi kek, mau lagu putus cinta kek, kalau memang jelek ya jelek aja. Kami harus mengatakannya dengan tegas, karena orang Indonesia suka nggak ngerti kalau dibilangin secara halus: beli baju, film dan album karena memang bagus, bukan karena trend.
Not-so-pink Chick
Labels:
industri film,
industri musik,
Lagu rohani,
Not-so-pink Chick,
whatever
Wednesday, August 19, 2009
Whatever: Sebutan Lokal dan Internasional Harus Mulai Dihilangkan
Kita sering terlalu mengkotak-kotakkan diri. Kita terlalu sering merasa rendah diri dengan negara-negara lain. Karena itu kita kemudian membuat label lokal dan internasional.
Ini terjadi hampir di semua segmen hiburan, sebut saja film dan musik. Nasib film lebih baik karena bioskop memberi pengakuan bahwa film-film Indonesia setara dengan film-film dari negara lain, dengan memberlakukan harga karcis yang sama.
Sedangkan musik masih mengalami perbedaan kasta. Di festival musik, yang menjadi pembuka pasti artis-artis dari negeri sendiri, kalau ada artis dari luar negeri mereka pasti akan dipasang jadi headliner.
Padahal sebenarnya tidak ada pembedaan status untuk artis dalam dan luar negeri. Yang membedakan hanyalah bagus tidaknya musik mereka. If it is crap, then it is crap.
Catatan tambahan: artis Indonesia harus lebih banyak belajar tentang performa dan sound panggung dari artis luar negeri. Makanya itu artis luar negeri dipasang sebagai headliner.
Not-so-pink Chick
Ini terjadi hampir di semua segmen hiburan, sebut saja film dan musik. Nasib film lebih baik karena bioskop memberi pengakuan bahwa film-film Indonesia setara dengan film-film dari negara lain, dengan memberlakukan harga karcis yang sama.
Sedangkan musik masih mengalami perbedaan kasta. Di festival musik, yang menjadi pembuka pasti artis-artis dari negeri sendiri, kalau ada artis dari luar negeri mereka pasti akan dipasang jadi headliner.
Padahal sebenarnya tidak ada pembedaan status untuk artis dalam dan luar negeri. Yang membedakan hanyalah bagus tidaknya musik mereka. If it is crap, then it is crap.
Catatan tambahan: artis Indonesia harus lebih banyak belajar tentang performa dan sound panggung dari artis luar negeri. Makanya itu artis luar negeri dipasang sebagai headliner.
Not-so-pink Chick
Labels:
industri musik,
Not-so-pink Chick,
whatever
Thursday, August 13, 2009
Whatever: Apalagi Setelah RBT?
Bagi label rekaman di Indonesia, RBT bak kejatuhan durian di tengah ladang kering kerontang dijemur panas matahari. RBt seperti kuda hitam yang tiba-tiba datang dan memberikan keuntungan.
Beberapa eksekutif dari perusahaan rekaman pernah berucap, tanpa RBT entah bagaimana nasih industri musik rekaman di Indonesia. Bisa-bisa label sudah gulung tikar dan artis berjalan sendiri-sendiri.
Tapi adakah antisipasi jika kemudian di dekat atau kemudian hari tren RBT berakhir? Bagaimana kalau tiba-tiba konsumen berhenti membeli RBT karena alokasi tujuh ribu rupiahnya berpindah untuk beli kacang goreng atau jagung bakar?
Sayangnya sampai saat ini belum terlihat apa pengganti dari RBT. Mumpung masa kegelapan belum datang, ada baiknya para pelaku bisnis rekaman, artis, pelaku ritel, penggemar dan pihak lain yang mungkin bisa dilibatkan, untuk berkumpul dan duduk bersama untuk memformulasikan apa produk dahsyat berikutnya. Berpikir dengan lebih banyak kepala lebih baik daripada gak ada yang berpikir kan?
Bukan apa-apa, kami hanya khawatir nantinya tidak ada lagu-lagu yang bisa dinikmati karena para artis sudah banting setir tidak mau bikin lagu lagi disebabkan tidak lagi menghasilkan uang.
Not-so-pink Chick
Beberapa eksekutif dari perusahaan rekaman pernah berucap, tanpa RBT entah bagaimana nasih industri musik rekaman di Indonesia. Bisa-bisa label sudah gulung tikar dan artis berjalan sendiri-sendiri.
Tapi adakah antisipasi jika kemudian di dekat atau kemudian hari tren RBT berakhir? Bagaimana kalau tiba-tiba konsumen berhenti membeli RBT karena alokasi tujuh ribu rupiahnya berpindah untuk beli kacang goreng atau jagung bakar?
Sayangnya sampai saat ini belum terlihat apa pengganti dari RBT. Mumpung masa kegelapan belum datang, ada baiknya para pelaku bisnis rekaman, artis, pelaku ritel, penggemar dan pihak lain yang mungkin bisa dilibatkan, untuk berkumpul dan duduk bersama untuk memformulasikan apa produk dahsyat berikutnya. Berpikir dengan lebih banyak kepala lebih baik daripada gak ada yang berpikir kan?
Bukan apa-apa, kami hanya khawatir nantinya tidak ada lagu-lagu yang bisa dinikmati karena para artis sudah banting setir tidak mau bikin lagu lagi disebabkan tidak lagi menghasilkan uang.
Not-so-pink Chick
Labels:
industri musik,
Not-so-pink Chick,
whatever
Tech & Ent: Format Musik Masa Depan adalah Musik Digital dengan Kualitas Suara Tinggi

Melihat tren ke depan adalah digital, sementara belum semua orang beralih ke digital, kecuali sampai mereka yang tua-tua ini meninggal, maka Dr. Dre, Jimmy Iovine, Interscope Chairman, dan Hewlett-Packard berkolaborasi untuk menyelamatkan masa depan. Tujuan kolaborasi ini adalah untuk membuat kualitas suara yang lebih baik dari musik digital. Selain itu juga agar format ini dapat dimainkan dengan baik di perangkat audio mahal.
Kami masih belum yakin atas inisiatf ini. Banyak hal bisa terjadi di dunia digital. Termasuk kompabilitas, dukungan dari vendor lain, dan yang paling utama adalah tingkat penerimaan publik.
Untuk sementara, niat untuk membuat musik digital lebih berkualitas suaranya patut diberi tepuk tangan. Selanjutnya bagaimana cara menjualnya.
Old Skuller
Labels:
Dr. Dre,
Hewlett-Packard,
industri musik,
Old Skuller,
Tech and Ent
Tuesday, August 11, 2009
Daftar Penting Gak Penting Gitu Deeeh: Alasan Beli Produk Fisik Daripada MP3
Di dunia digital seperti ini, masih ada juga mereka-mereka yang masih lebih memilih membeli produk fisik daripada mp3 yang tidak punya bentuk. Karena mereka lah toko-toko seperti Aquarius, Duta Suara dan lainnya masih bisa bertahan.
Berikut 10 alasan mengapa mereka masih tetap membeli produk fisik:
Berikut 10 alasan mengapa mereka masih tetap membeli produk fisik:
- Tidak mengerti cara beli lagu-lagu secara online. Golongan ini biasanya bukan dari golongan anak muda.
- Tidak punya cukup bandwidth. Karena broadband di Indonesia belum merata, maka yang tidak kebagian broadband lebih cepat pergi ke toko CD dan pulang kembali daripada menunggu download selesai.
- Tidak Mendapatkan art-work lengkap. Mereka ingin mengetahui siapa produsernya, siapa pemainnya, di mana album ini direkam, pemainnya pakai gear apa, sampai ke ucapan terima kasih. Ini tidak mereka dapatkan kalau beli lagu-lagu secara online. Apalagi kalau belinya single per single.
- Album bukanlah album kalau tanpa art-work. Album tidak hanya terdiri dari lagu-lagu saja, tetapi merupakan kesatuan utuh dengan art-worknya. Dengan art-work maka pendengar bisa lebih mendalami album tersebut.
- Ingin ada sesuatu yang bisa dipajang. Yeah right, MP3 tidak bisa dipajang di lemari. mp3 tempatnya di hardisk dan pemutar MP3.
- Tidak percaya dengan perangkat pendukung MP3. Mana mungkin kotak kecil dengan speaker kecil tambahan bisa memuaskan kuping?
- Kualitas suara yang lebih baik. Betapa canggihnya teknologi yang bisa dicapai, masih belum bisa mengalahkan kualitas suara CD, apalagi piringan hitam. Sedangkan untuk penggemar kaset, mereka beralasan suara kresek-kreseknya ngangeni.
- Pasang dan langsung bunyi. Kalau file MP3 yang dimaui tidak ada di pemutarnya, maka harus dicari dulu di hardisk. Menyalakan komputer dahulu, memindahkan file ke pemutar dan baru memutarnya membutuhkan terlalu banyak waktu. Mood bisa keburu hilang duluan.
- MP3 tidak punya bentuk. Mereka suka memandang-mandang, mengelus-elus dan perlu pegangan saat pura-pura jadi vokalis utama.
- MP3 tidak punya bau. Mereka suka mengendus-endus bau produk fisik baru.
Friday, August 7, 2009
Whatever: Mereka Membeli Produk Original Karena Berpegang Teguh Kepada Prinsip

Mereka adalah makhluk yang semakin langka saja. Dengan rajin mendatangi toko musik berharap rak-rak yang dulunya menghibur pandangan mereka akan kembali penuh. Mereka yang sibuk mencari vinyl, kaset dan CD, di toko beneran, toko 2nd hand dan toko online. Kalaupun cari MP3, karena produknya memang tidak tersedia secara fisik (bagi mereka fisik adalah yang utama), maka mereka benar-benar cari yang legal dan kalau perlu bayar, ya tetap bayar.
Pasti ada alasan kenapa mereka tetap berbeda dan tidak mau merubah prinsipnya. Walaupun ada yang tidak masuk akal, tetapi ini lah jawaban mereka ketika ditanya kenapa harus beli produk original yang lebih mahal.
- Mutu bajakan yang sangat rendah. Ya iya lah, masak beli bajakan ngarep kualitas original. Duit punya mata.
- Kualitas suara jauh lebih bagus daripada bajakan. Ah masak iya? Kalau kaset dibanding CD bajakan masih lebih bagus CD bajakan dong.
- Menghargai artis yang susah payah sudah bikin lagu dan rekaman. Rekaman itu butuh duit lho. Jangan dipikir bikin lagu itu murah. Wajar lah bantu-bantu biar paling gak balik modal ongkos rekaman.
- Kalau semua beli bajakan, ada artis bagus yang gak lagi berkarya. Gak semua artis kaya lho. Itu kan mereka yang sering tampil di tv. Yang gak tampil di tv dan karyanya bagus masih lebih banyak lagi. Kalau tidak beli albumnya, maka kelompok ini termasuk ke dalam mereka yang merugi, karena artis gak bisa bikin album lagi karena gak punya pemasukan.
- Kalau gak beli originalnya bakal pusing karena terbayang-bayang terus. Nah kalau yang ini kasusnya udah kecanduan.
Hip Master
Gambar diambil dari guardian.co.uk
Labels:
Hip Master,
industri musik,
whatever
Whatever: Fakta Seputar RBT Menurut Operator
Sumber dari operator GSM terkemuka di Indonesia memberitahukan fakta-fakta seputar fenomena RBT di negeri kepulauan tercinta ini. Salah satunya seperti dugaan kami.
RBT tidak disangka-sangka meledak di Indonesia. Karena, di luar negeri RBT bukan layanan andalan untuk mendatangkan uang. Eh malah di Indonesia RBT bisa digila-gilai.
Semakin ke timur, pemakai RBT semakin banyak. Ini mungkin semakin ke timur akses untuk membeli CD original semakin sedikit. Karena itu mereka yang punya dua handphone, membeli RBT untuk kemudian didengar memakai handphone yang lain. Lumayan 30 detik, daripada beli bajakannya.
Hip Master
RBT tidak disangka-sangka meledak di Indonesia. Karena, di luar negeri RBT bukan layanan andalan untuk mendatangkan uang. Eh malah di Indonesia RBT bisa digila-gilai.
Semakin ke timur, pemakai RBT semakin banyak. Ini mungkin semakin ke timur akses untuk membeli CD original semakin sedikit. Karena itu mereka yang punya dua handphone, membeli RBT untuk kemudian didengar memakai handphone yang lain. Lumayan 30 detik, daripada beli bajakannya.
Hip Master
Labels:
Hip Master,
industri musik,
RBT,
whatever
Thursday, August 6, 2009
Whatever: Laju RBT Masih Belum Terhenti, Alasan Mengapa Masih Belum Juga Berhenti
RBT adalah tren. Dan orng Indonesia senang dengan yang berbau tren. Selama tren mereka akan mengikutinya.
RBT adalah cara untuk menunjukkan kepribadian. Kepribadian orang Indonesia suka berubah-ubah tiap bulan. Kalau lagi bulan Agustus, kepribadiannya sedang penuh semangat perjuangan. Kalau lagi bulan puasa, kepribadian tiba-tiba berubah jadi alim. Kalau bulan Desember, kepribadian kepenginnya pesta melulu. Kalau bulan Februari, kepribadian jadi mendayu-dayu.
RBT adalah cara menunjukkan kecintaan pada artis. Nih loh gue bayar, gak cuma beli bajakannya aja.
RBT adalah cara penggemar mempromosikan artis kegemarannya. Moga-moga yang dengar RBT jadi ikut beli RBT-nya.
Alasan yang pertama adalah yang paling mendekati kebenaran.
Hip Master
RBT adalah cara untuk menunjukkan kepribadian. Kepribadian orang Indonesia suka berubah-ubah tiap bulan. Kalau lagi bulan Agustus, kepribadiannya sedang penuh semangat perjuangan. Kalau lagi bulan puasa, kepribadian tiba-tiba berubah jadi alim. Kalau bulan Desember, kepribadian kepenginnya pesta melulu. Kalau bulan Februari, kepribadian jadi mendayu-dayu.
RBT adalah cara menunjukkan kecintaan pada artis. Nih loh gue bayar, gak cuma beli bajakannya aja.
RBT adalah cara penggemar mempromosikan artis kegemarannya. Moga-moga yang dengar RBT jadi ikut beli RBT-nya.
Alasan yang pertama adalah yang paling mendekati kebenaran.
Hip Master
Labels:
Hip Master,
industri musik,
RBT,
whatever
Wednesday, August 5, 2009
Whatever: Apakah Sepeninggal Meninggalnya Mbah Surip Terjadi Lonjakan Penjualan CDnya?

Biasanya saat artis mendadak meninggal dunia, maka terjadi lonjakan permintaan terhadap karya-karyanya. Apalagi saat artis tersebut sedang dalam masa puncaknya dan tiba-tiba Tuhan memanggil.
Penjualan album Michael Jackson pasca meninggalnya mengalami peningkatan pesat, padahal tidak ada yang baru. Album-album klasiknya kembali diminati.
Bagaimana dengan Mbah Surip? Belum ada laporannya sih. Tetapi dari beberapa percakapan di Facebook dan Twitter, banyak orang yang tidak peduli sebelumnya kini mencari video Tak Gendong. Bukan tidak mungkin, kejadian yang justru makin meningkatkan popularitas Mbah Surip akan mendorong penjualan karyanya dalam waktu dekat. Apalagi industri ini terkenal kejam.
By the way, sudah beli CDnya Mbah Surip? Legend lho...apalagi harganya cuma 20 ribu rupiah harganya.
Hip Master
Labels:
Hip Master,
industri musik,
Mbah Surip,
whatever
Whatever: Mini Album, Artis Semakin Pasrah atau Hidup Segan Mati Tak Mau?
Di mana ada gula di situ ada semut. Tikus mengikuti kemana kejunya berpindah. Industri musik mengikuti di mana uang berada.
Meluncurkan album baru bagi industri musik kini menjadi pertaruhan yang semakin tinggi saja resikonya. Diperlukan biaya untuk rekaman, kemudian promosi untuk mengangkat lagunya ke chart. Apalagi bajakan menggila menggerus margin industri ini. Agar resiko makin kecil dan margin terjaga, maka industri melihat mini album dan berujung ke RBT.
Mini album berarti tidak harus menyediakan lagu bagus sebanyak album penuh. Cukup dua atau tiga lagu dan sisa tiga lagu bisa berupa remix atau stok lagu lama. Buat dua atau tiga lagu itu lebih banyak didengar, dan kemudian tunggu pemasukan dari RBT. Penjualan mini albumnya sih gak usah dipikirin lagi. Ini hanya umpan untuk mengejar RBT.
Apakah ini cara yang kreatif? Bukan. Ini adalah langkah putus asa. Baik industri dan artis seperti tidak punya jalan lagi untuk mengejar pemasukan. Mereka seperti sudah tidak punya rasa percaya diri bahwa kalau memang albumnya bagus, maka pasti akan dibeli. Walaupun jumah yang dibeli tetap lebih sedikit, paling tidak seharusnya album mengalami penjualan yang lebih baik.
Kalau yang dipikirkan hanya menjual dan menjual saja, maka tujuan akhir untuk menjual lebih banyak CD tidak akan tercapai di jaman seperti sekarang ini. Harus digunakan jalan lain yang kadang melingkar jauh terlebih dahulu baru sampai ke sasaran. Apakah maksudnya memberi himbauan kepada pasar untuk tidak membeli produk bajakan? Iya, tapi tidak harus mengatakannya secara langsung seperti itu saja.
Pasar ingin lebih dihargai, apalagi mereka sekarang punya kontrol penuh akan cara mendapatkan album. Mereka punya banyak pilihan yang secepat kilat dapat dieksekusi. Intinya adalah kenali lebih baik pasarnya. Pasar yang dulunya terus dicekoki untuk dipaksa membeli. Keadaan sudah berubah. Perlu kerja lebih keras untuk mengejar ketinggalan.
Not-so-pink Chick
Meluncurkan album baru bagi industri musik kini menjadi pertaruhan yang semakin tinggi saja resikonya. Diperlukan biaya untuk rekaman, kemudian promosi untuk mengangkat lagunya ke chart. Apalagi bajakan menggila menggerus margin industri ini. Agar resiko makin kecil dan margin terjaga, maka industri melihat mini album dan berujung ke RBT.
Mini album berarti tidak harus menyediakan lagu bagus sebanyak album penuh. Cukup dua atau tiga lagu dan sisa tiga lagu bisa berupa remix atau stok lagu lama. Buat dua atau tiga lagu itu lebih banyak didengar, dan kemudian tunggu pemasukan dari RBT. Penjualan mini albumnya sih gak usah dipikirin lagi. Ini hanya umpan untuk mengejar RBT.
Apakah ini cara yang kreatif? Bukan. Ini adalah langkah putus asa. Baik industri dan artis seperti tidak punya jalan lagi untuk mengejar pemasukan. Mereka seperti sudah tidak punya rasa percaya diri bahwa kalau memang albumnya bagus, maka pasti akan dibeli. Walaupun jumah yang dibeli tetap lebih sedikit, paling tidak seharusnya album mengalami penjualan yang lebih baik.
Kalau yang dipikirkan hanya menjual dan menjual saja, maka tujuan akhir untuk menjual lebih banyak CD tidak akan tercapai di jaman seperti sekarang ini. Harus digunakan jalan lain yang kadang melingkar jauh terlebih dahulu baru sampai ke sasaran. Apakah maksudnya memberi himbauan kepada pasar untuk tidak membeli produk bajakan? Iya, tapi tidak harus mengatakannya secara langsung seperti itu saja.
Pasar ingin lebih dihargai, apalagi mereka sekarang punya kontrol penuh akan cara mendapatkan album. Mereka punya banyak pilihan yang secepat kilat dapat dieksekusi. Intinya adalah kenali lebih baik pasarnya. Pasar yang dulunya terus dicekoki untuk dipaksa membeli. Keadaan sudah berubah. Perlu kerja lebih keras untuk mengejar ketinggalan.
Not-so-pink Chick
Labels:
industri musik,
Not-so-pink Chick,
RBT,
whatever
Subscribe to:
Posts (Atom)